BAB I
PENDAHULUAN
Secara
nasional, produktivitas perkebunan di Indonesia masih tertinggal dari negara
tetangga, seperti kelapa sawit dengan Malaysia, karet dengan Thailand, kopi
robusta dengan Vietnam, kelapa dengan Filipina, panili dengan Grenada, dan
jambu mente dengan India. Kemampuan teknis dan manajemen masih rendah, demikian
pula dengan daya adopsi teknologinya. Kelembagaan ekonomi petani belum mampu
memanfaatkan peluang bisnis yang tersedia, sedangkan kelembagaan permodalan
kurang mendukung. Demikian pula dengan kelembagaan pemasaran, kelembagaan
informasi dan kelembagaan petani.
Kelapa,
karet, kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, panili, jambu mente, cengkeh, teh,
lada, tembakau, kapas dan jahe, adalah sebagian dari tanaman perkebunan yang
diusahakan oleh perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN) dan
perkebunan besar swasta (PBS) di berbagai pelosok tanah air. Sekitar 80%
kegiatan perkebunan di Indonesia dilakukan oleh PR yang proporsinya
berbeda-beda antar tanaman. Kelapa hampir seluruhnya (97%) diusahakan dalam
bentuk PR; sedangkan kelapa sawit sebagian besar masih diusahakan oleh
perkebunan besar (PBS dan PBN), sedangkan PR hanya sekitar 33%.
Tanaman
kelapa dan kelapa sawit mempunyai banyak persamaan karakter, terutama dari segi
morfologinya, khususnya lagi yang berkaitan dengan pertumbuhan vegetatif
(perakaran, batang, daun dan tajuk) walaupun daur hidupnya berbeda. Demikian
pula dengan persyaratan lingkungan tumbuh seperti iklim dan tanah, sehingga
beberapa teknologi budidaya kedua jenis tanaman ini dapat dipertukarkan,
seperti teknologi tanaman sela pada pertanaman yang belum menghasilkan. Namun
demikian, tidak semua teknologi tanaman sela di antara kelapa dapat dipakai
atau langsung dipakai pada kelapa sawit, seperti teknologi tanaman sela pada
pertanaman kelapa sawit yang menghasilkan perlu mempertimbangkan kelancaran
pelaksanaan panen dan pengangkutan hasil panen. Untuk yang demikian tetap
diperlukan penelitian untuk menghasilkan teknologi yang spesifik untuk kelapa
sawit.
Secara
teoritis, tidak semua jenis tanaman dapat diusahakan sebagai tanaman sela di
antara tanaman pokok. Oleh karena itu perlu pemahaman yang mendalam tentang
karakter tanaman pokok dan tanaman sela, sehingga aspek-aspek yang berkaitan
dengan konsep sinergisme dapat lebih ditingkatkan, sementara aspek-aspek
merugikan yang berkaitan dengan antagonisme dan alelopati dapat ditekan
seminimal mungkin.
Untuk
kelangsungan usahatani tanaman sela di antara kelapa sawit, dalam memilih dan
memadukan tanaman diperlukan jenis-jenis tanaman yang menunjukkan fungsi saling
melengkapi sehingga dapat berinteraksi secara sinergi, bukannya bersaing satu
sama lain. Kondisi yang demikian akan dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman,
dapat mengendalikan berkembangnya organisme pengganggu tanaman (OPT) dan memelihara
organisme berguna, serta dapat memelihara.
kelestarian sumberdaya lahannya, sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan hasil tanaman secara berkelanjutan. Di sisi lain, sistem
pertanaman campuran dapat menghasilkan produk yang lebih beragam dan berkesinambungan,
sehingga dapat memberikan suatu alternatif pemecahan masalah tentang resiko
fluktuasi harga salah satu komoditas, dan dapat memberikan lebih banyak peluang
bagi petani untuk mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan.
Lebih
lanjut, tanaman sela di antara kelapa sawit akan lebih menjamin/memperkaya
ketersediaan pakan (kuantitas dan kualitas) bagi integrasi ternak dengan kelapa
sawit, terutama pada periode tanaman belum menghasilkan di mana sumber bahan
baku pakan dari pertanaman kelapa sawit belum cukup tersedia.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengusahakan
tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura sebagai tanaman sela di antara
kelapa sawit sangat berpeluang untuk dilakukan. Seperti kelapa, tanaman kelapa
sawit memiliki karakter yang khas, seperti berumur panjang, lingkar batang dan
bentuk tajuk yang relatif tetap, dan pertumbuhan akar yang terkonsentrasi
secara vertikal di bawah permukaan tanah. Secara keseluruhan karakter yang
dimiliki tanaman kelapa sawit tidak dimiliki oleh tanaman perkebunan lainnya,
kecuali kelapa.
Jenis
tanaman sela dan bentuk usahataninya tergantung sumber daya yang tersedia dan
permintaan pasar. Sumber daya yang dimaksud berupa kondisi lahan dan iklim,
kondisi tanaman kelapa sawit dan status teknologi, sedang bentuk usahataninya ditentukan
oleh sosial budaya dan ekonomi petani, serta permintaan pasar.
Tanaman
sela yang diusahakan di antara kelapa sawit dapat sejenis atau campuran.
Tanaman sela campuran antara tanaman semusim dengan semusim, semusim dengan
tahunan, atau antara tahunan dengan tahunan, tanaman pangan dengan tanaman
perkebunan, tanaman pangan dengan hortikultura, atau tanaman perkebunan dengan
hortikultura.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengusahaan tanaman sela di antara kelapa sawit meliputi:
(1)
lingkungan tumbuh tanaman kelapa sawit, seperti iklim dan tanah,
(2)
karakteristik tanaman kelapa sawit, seperti jenis, perakaran, batang, dan
tajuk, dan (3) karakteristik tanaman sela.
A.
Iklim
Faktor iklim sangat berpengaruh tenhadap
pertumbuhan dan produksi tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan
baik pada daerah tropika basah di sekitar 12o lintang utaraselatan pada
ketinggian 0-500 m dpl. Beberapa unsur iklim yang penting dan saling
mempengaruhi adalah curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembaban udara, dan
angin.
1.
Curah hujan
Curah
hujan optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit 2.000-2.500 mm/tahun
dengan distribusi merata sepanjang tahun
tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Curah hujan yang merata dapat
menurunkan penguapan dari tanah dan tanaman kelapa sawit. Namun, yang
terpenting adalah tidak terjadi defisit air sebesar 250 mm. Oleh sebab itu,
musim kemarau panjang akan menurunkan produksi. Daerah di Indonesia yang sering
mengalami kekeringan adalah Lampung dan Jawa Barat, sedangkan Kalimantan Timur
dan beberapa lokasi lainnya hampir setiap 5-6 tahun sekali. Pada umumnya daerah
dengan jumlah hujan yang tinggi terkadang menjadi masalah terutama jalan untuk
transport, pembakaran, pemeliharaan, pemupukan, dan pencegahan erosi. Daerah di
Indonesia seperti ini kebanyakan berada pada ketinggian di atas 500 m dpl,
kecuali di beberapa lokasi pantai barat Sumatera.
2.
Cahaya matahari
Cahaya
matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga
dan buah. Untuk itu, intensitas, kualitas, dan lama penyinaran sangat
berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan antara 5-7 jam/hari.
Beberapa daerah seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan sering terjadi
penyinaran matahari kurang dari 5 jam pada bulan-bulan tertentu, akibatnya dapat
menyebabkan berkurangnya produktivitas dan gangguan penyakit tanaman.
3.
Suhu
Selain
curah hujan dan cahaya matahari yang cukup, tanaman kelapa sawit memerlukan
suhu optimum 24-28°C, terendah 18°C dan tertinggi 32°C. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah lama penyinaran dan ketinggian
tempat. Semakin lama penyinanan atau makin rendah suatu tempat, makin tinggi
suhunya. Suhu berpengaruh terhadap masa pembungaan dan kematangan buah. Tanaman
kelapa sawit yang ditanam pada ketingginan lebih dari 500 m dpl akan terlambat
berbunganya dibandingkan dengan yang ditanam di dataran rendah.
4.
Kelembaban dan angin
Kelembaban
udara dan angin adalah faktor yang penting untuk menunjang pertumbuhan kelapa
sawit. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80%. Kecepatan
angin 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan. Angin yang
kering menyebabkan penguapan lebih besar, mengurangi kelembaban, dan dalam
waktu lama mengakibatkan tanaman layu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban
adalah suhu, cahaya matahari, lama penyinaran, curah hujan, dan
evapotranspirasi.
B.
Tanah
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai
jenis tanah, seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial, atau
regosol. Namun, kemampuan produksi kelapa sawit pada masing-masing jenis tanah
tersebut tidak sama. Ada dua sifat utama tanah sebagai media tumbuh, yaitu
sifat kimia dan sifat fisik tanah.
1. Sifat
fisik
Beberapa
hal yang menentukan sifat fisik tanah adalah tekstur, struktur, konsistensi,
kemiringan tanah, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah, dan kedalaman
permukaan air tanah.Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah gembur, subur,
berdrainase baik, permeabilitas sedang,
dan mempunyai solum yang tebal sekitar 80 cm tanpa lapisan cadas. Tekstur tanah
ringan dengan kandungan pasir 20-60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%. Tanah yang
kurang cocok adalah tanah pantai berpasir dan tanah gambut. Keadaan topografi
pada areal perkebunan kelapa sawit berhubungan dengan kemudahan perawatan
tanaman dan panen. Topografi yang dianggap cukup baik untuk tanaman kelapa
sawitadalah areal dengan kemiringan 0-15°. Hal ini akan memudahkan pengangkutan
buah dari pohon ke tempat penumpukan hasil atau dari kebun ke pabrik
pengolahan. Areal dengan kemiringan lebih dari 15° masih memugkinkan ditanami,
tetapi perlu dibuat teras. Areal seperti ini akan menyulitkan panen serta
pengangkutan hasil.
Tabel 1.
Kondisi fisik lahan untuk kelapa sawit
2. Sifat kimia
Sifat
kimia tanah dapat dilihat dari tingkat kemasaman dan komposisi kandungan hara
mineralnya. Sifat kimia tanah mempunyai arti penting dalam menentukan dosis
pemupukan dan kelas kesuburan tanah. Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan
tanah dengan sifat kimia yang istimewa sebab kekurangan unsur hara dapat diatasi
dengan pemupukan. Walaupun demikian, tanah yang mengandung unsur hara dalam
jumlah yang cukup sangat baik untuk pertumbuhan vegetative dan generatif
tanaman, sedangkan kemasaman tanah menentukan ketersediaan dan keseimbangan
unsun-unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara
4,0-6,5 dengan pH optimum 5-5,5. Tanah yang memiliki pH rendah dapat diperbaiki
dengan pengapuran, tetapi membutuhkan biaya yang tinggi. Tanah dengan pH rendah
biasanya dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut. Tanaman
kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang
tinggi, dengan C/N mendekati 10 di mana C 1,0% dan N 0,1%. Daya tukar Mg dan K
berada pada batas normal, yaitu untuk Mg 0,4 -1,0 me/100 g, sedangkan K 0,15-1,20
me/100 g. Namun, faktor pengelolaan budi daya atau teknis agronomis dan sifat
genetis tanaman juga sangat menentukan produktivitas kelapa sawit.
C. Karakteristik tanaman kelapa sawit
1. Akar
Akar
tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah dan respirasi
tanaman. Selain itu, sebagai penyangga berdirinya tanaman sehingga mampu menyokong
tegaknya tanaman pada ketinggian yang mencapai puluhan meter sampai tanaman
berumur 25 tahun. Akar tanaman kelapa sawit tidak berbuku, ujungnya runcing,
dan berwarna putih atau kekuningan. Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya
sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer,
sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah
sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh
sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke
lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Di samping itu,
tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah.
Penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Dengan perakaran kuat
tersebut, jarang ditemukan pohon kelapa sawit yang tumbang.
Akar
tertier dan kuarter merupakan bagian perakaran paling dekat dengan permukaan
tanah. Kedua jenis akar ini banyak ditumbuhi bulu-bulu halus yang dilindungi
oleh tudung akar (kaliptra). Bulu-bulu tersebut paling efektif dalam menyerap
air, udara, dan unsur hara dari dalam tanah. Kedua akar ini paling banyak
ditemukan 2-2,5 m dari pangkal batang dan sebagian besar berada di luar
piringan. Pada bagian ini tanahnya akan lebih remah dan lembab sehingga
merupakan lokasi yang paling sesuai untuk penyebaran pupuk. Akar tertier dan
kuarter juga banyak ditemukan sampai dengan 1 m di dalam tanah. Bahkan ada yang
mampu tumbuh sampai dengan kedalaman 5 m. Namun, sistem perakaran yang paling
banyak ditemukan adalah pada kedalaman 0-20 cm, yaitu pada lapisan olah tanah (top
soil). Oleh karena itu, jika menemukan sistem perakaran yang dangkal, perlu
menjaga ketersediaan unsur hara dan permukaan air tanah yang lebih mendekati
permukaan akar tanaman, terutama pada lahan gambut dan lahan kritis.
2. Batang
Kelapa
sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai dan tidak
bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan
mengangkut bahan makanan. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan
diameter 20-75 cm. Tanaman yang masih muda, batangnya tidak terlihat karena
tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang terlihat jelas setelah
tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-45 cm/tahun. Jika
kondisi
lingkungan sesuai, pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100 cm/tahun.
Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15-18 m, sedangkan yang di
alam mencapai 30 m. Pertumbuhan batang tergantung pada jenis tanaman, kesuburan
lahan, dan iklim setempat.
3. Daun
Daun
kelapa sawit mirip daun kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip
genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu pelepah yang panjangnya
mencapai lebih dari 7,59 m. Jumlah anak daun di setiap pelepah berkisar antara
250-400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah
yang subur, daun cepat membuka sehingga makin efektif melakukan fungsinya
sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin
lama proses fotosintesis berlangsung semakin banyak bahan makanan yang
dibentuk, sehingga produksi akan meningkat. Produksi daun tergantung iklim
setempat. Di Sumatera Utara, misalnya produksi daun mencapai 20-24 helai/tahun.
Umur daun mulai terbentuk sampai tua sekitar 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang
sehat dan segar berwarna hijau tua.
Jumlah
pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada umur tanaman.
Tanaman yang berumur tua, jumlah pelepah dan anak daun lebih banyak. Begitu
pula pelepahnya akan lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda.
Berat kering satu pelepah dapat mencapai 4,3 kg. Pada tanaman dewasa ditemukan
sekitar 40-50 pelepah. Saat tanaman berumur sekitar 10-13 tahun dapat ditemukan
daun yang luas permukaannya mencapai 10-15 m2. Luas permukaan daun akan
berinteraksi dengan tingkat produktivitas tanaman. Semakin luas permukaan atau
semakin banyak jumlah daun maka produksi akan meningkat karena proses
fotosintesis akan berjalan dengan baik. Proses fotosintesis akan optimal jika
luas permukaan daun mencapai 11 m2 (LUBIS, 1992). Jumlah kedudukan pelepah daun
pada batang kelapa sawit disebut phyllotaxis yang dapat ditentukan
berdasarkan perhitungan susunan duduk daun, yaitu dengan menggunakan rumus
duduk daun 1/8. Artinya, setiap satu kali berputar melingkari batang, terdapat
duduk daun (pelepah) sebanyak 8 helai. Pertumbuhan melingkar duduk daun
mengarah ke kanan atau ke kiri menyerupai spiral. Pada tanaman yang normal,
dapat dilihat 2 set spiral berselang 8 daun yang mengarah ke kanan dan
berselang 13 daun mengarah ke kiri. Arah duduk daun sangat berguna untuk
menentukan letak duduk daun ke-9 dan ke-17 saat pengambilan contoh daun. Di
samping itu, duduk daun juga berguna untuk menentukan jumlah daun yang harus
tetap ada di bawah buah terendah yang disebut songgoh.
D. Karakteristik tanaman sela
Pemilihan
tanaman sela yang akan diusahakan di bawah pohon kelapa sawit didasarkan pada:
karakteristik tanaman kelapa sawit dan tanaman sela, kesesuaian iklim dan
penyebaran areal kelapa sawit, keadaan iklim mikro di bawah kelapa sawit
terutama radiasi surya, suhu, dan kelembaban, dan persyaratan iklim tanaman
sela meliputi radiasi surya, curah hujan, tinggi tempat, suhu, dan kelembaban.
Kriteria umum jenis tanaman sela yang akan diusahakan, sebagai berikut:
Tanaman
sela tidak lebih tinggi dan tanaman kelapa sawit selama periode pertumbuhan dan
·
sistem
perakaran dan tajuknya menempati horizon tanah dan ruang di atas tanah yang
berbeda.
·
Tanaman
sela tidak merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit kelapa sawit dan
tidak lebih peka dari tanaman kelapa sawit terhadap serangan hama dan penyakit
tersebut.
·
Pengelolaan
tanaman sela tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa sawit atau menyebabkan
terjadinya erosi atau kerusakan tanah.
·
Sesuai
untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m dpl. dengan curah hujan 1.500-3.000
mrn/tahun dengan bulan kering maksimal 3 bulan berturut-turut. Toleran terhadap naungan dengan
intensitas radiasi surya 50-200 W m2, suhu rata-rata 25-27° C dan kelembaban
> 80%.
Berdasarkan
kriteria tersebut, jenis tanaman sela yang berpeluang untuk diusahakan di bawah
pohon kelapa serta persyaratan iklim yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel
2.
TEKNOLOGI
TANAMAN SELA DI ANTARA KELAPA DAN KELAPA SAWIT
Di
antara sekian banyak jenis tanaman perkebunan, terdapat dua jenis tanaman yang mempunyai
prioritas dan berpeluang cukup besar untuk ditanami tanaman sela, yaitu kelapa
dan kelapa sawit. Kedua jenis tanaman ini mempunyai sifat agronomis dan
agroekologis yang tidak jauh berbeda sehingga teknologi tanaman sela yang telah
diperoleh dari salah satu jenis tanaman berpeluang diterapkan pada jenis
lainnya.
Dukungan
teknologi dan penerapan pola tanam tanaman sela di antara pertanaman kelapa relatif
lebih luas dan lebih maju apabila dibandingkan dengan pada pertanaman kelapa
sawit. Namun demikian, bukan berarti secara teknis agronomis penanaman tanaman
sela di antara kelapa sawit tidak bisa dilakukan, tetapi semata-mata karena
adanya perbedaan aspek pengusahaan dan budaya atau kebiasaan saja.
Perkebunan
kelapa di Indonesia sebagian besar (97%) diusahakan dalam bentuk
perkebunanrakyat yang umumnya dikelola dengan manajemen “seadanya” dan masih
bersifat tradisional. Begitu juga dengan penerapan teknologi tanaman sela
walaupun telah sejak lama dan umum dilakukan di tingkat petani tetapi tujuannya
semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari hari keluarga petani atau
masih bersifat subsistem. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit pada umumnya
diusahakan dalam bentuk perkebunan besar Swasta maupun Pemerintah yang dikelola
dengan manajemen yang lebih maju dengan tujuan yang lebih diorientasikan pada
pemenuhan kebutuhan pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Tabel 2.
Jenis tanaman sela dan persyaratan iklim yang
dikehendaki
Hasil-hasil
penelitian tanaman sela di antara kelapa yang telah dilakukan di India, Sri
Lanka, Filipina maupun di Indonesia menyimpulkan bahwa penerapan sistem
usahatani berdasar kelapa (coconut-based farming system) memberikan
beberapa keunggulan serta keuntungan yang siginifikan, diantaranya:
(1)
pemanfaatan lahan usahatani lebih efisien dan produktif,
(2)
meningkatkan produktivitas usahatani,
(3)
meningkatkan pendapatan usahatani,
(4)
pemakaian input usahatani lebih efisien, dan
(5)
pendapatan petani menjadi lebih terjamin (DARWIS dan TARIGANS, 1990; TARIGANS
dan SUMANTO, 1995; MAGAT, 1999a; MAGAT, 1999b; RETHINAM, 2001; TARIGANS, 2001;
WAIDYANATHA, 2001; THAMPAN, 2002). Ditinjau dari analisis usahataninya (B/C
ratio), beberapa hasil penelitian tanaman sela di antara kelapa telah banyak
diperoleh (Tabel 3.)
Tabel 3.
Analisis usahatani (B/C ratio) polatanam kelapa
(Lolitsela, 2003)
Pada
beberapa daerah pertanaman kelapa sawit terdapat juga beberapa yang
mengusahakan tanaman sela dari jenis tanaman pangan dan hortikultura seperti
jagung, ubikayu, ubi rambat, maupun pisang. Areal pertanaman yang tidak
ditanami tanaman sela umumnya ditanami berbagai jenis rumput dan leguminosa
penutup tanah seperti Calopogonium sp, Centrosema pubescens, Pueraria
phaseoloides, dan Desmodium audifolium (DUKE, 1983; JALALUDIN, 1998).
Hasilpenelitian menunjukkan bahwa penanaman tanaman sela jagung tidak
mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit muda sebagai tanaman pokoknya,
bahkan secara ekonomi dapat menambah keuntungan dengan B/C ratio antara
1,30–2,05 (PURBA et al., 1998). Keuntungan lainnya dari konsep oil
palm-based intercropping system adalah menunjang keberlanjutan usaha
pertanian melalui maksimalisasi penggunaan lahan, stabilitas hasil dan
keuntungan (ERHABOR dan FILSON, 1999). Sementara itu dampak yang kurang
menguntungkan dari pola pertanaman kelapa sawit monokultur, mulai dari isu
ketahanan pangan sampai isu pelestarian lingkungan, telah cukup dirasakan oleh
sebagian negara penghasil sawit seperti Ghana (ANONYMOUS, 2001).
Dalam
konsep integrasi ternak dengan sawit, di samping limbah sawit yang dapat diolah
menjadi pakan, vegetasi rumput dan atau cover crop jenis leguminosa juga
dijadikan sebagai sumber pakan. Ditinjau dari aspek pertanaman kelapa sawitnya,
beberapa keuntungan dari vegetasi rumput dan atau cover crop yang dijadikan
sebagai sumber pakan ialah: (1) dapat mengurangi biaya pengendalian gulma, (2)
polusi lingkungan pertanaman dan tanah dapat dikurangi karena penggunaan bahan
kimia dapat ditekan, dan (3) dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga biaya pemupukan
dapat dikurangi (JALALUDIN, 1998). Keuntungan seperti ini pun identik dengan keuntungan
yang dapat diperoleh dari konsep integrasi antara ternak dengan kelapa
(ANONYMOUS, 1998). Oleh karena itu, vegetasi rumput diantara pertanaman kelapa
sawit maupun kelapa yang pada awalnya merupakan gulma yang merugikan dapat
berubah menjadi tanaman yang menguntungkan apabila dikelola dengan konsep yang
lebih baik dan terpadu dalam suatu bentuk farming system. Contoh seperti
ini telah dialami oleh negara Amerika Latin sebagai salah satu solusi dalam memproduksi
pakan secara berkelanjutan, baik pada pertanaman kelapa sawit maupun pada pertanaman
tebu (CIPAV, 1998).
Di segi
lainnya, salah satu solusi masalah adanya kompetisi terhadap kebutuhan bahan
dasar,
terutama
dari butiran hasil tanaman serealia (cereal grain), untuk pakan ternak
dan untuk kebutuhan manusia di tahun 2050 adalah bahwa pengembangan sistem
produksi pakan tidak harus bergantung lagi terhadap grain cereal yang
dimaksud serta proses industrialisasinya (PRESTON, 2000). Berdasarkan informasi
dapat diketahui bahwa kebutuhan grain cereal dunia untuk keperluan pakan
mencapai hampir 50% (SANSOUCY, 1998) Berdasarkan hal tersebut maka alternatif
sistem non-grain natural resources melalui pola integrated farming
system berdasar tanaman perkebunan (contoh kelapa sawit, kelapa, aren,
tebu) untuk memproduksi pakan memberikan beberapa keuntungan: (1) dapat
mengurangi adanya efek kontaminasi terhadap lingkungan, (2) dapat menambah
kesempatan kerja keluarga tani, (3) memperluas biodiversitas, dan (4) produk
pakan lebih berkualitas (PRESTON, 2000).
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya bahwa aspek agronomis dan agroekologis pertanaman
kelapa
sawit hampir identik dengan pertanaman kelapa. Oleh karena itu, beberapa
teknologi pola tanam tanaman sela yang telah diperoleh pada pertanaman kelapa
berpeluang diterapkan pada pertanaman kelapa sawit. Beberapa jenis tanaman
sela, baik dari jenis tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan
lainnya, di samping dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan manusia
juga limbah tanamannya (langsung maupun melalui pengolahan lebih lanjut),
terutama sewaktu tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) bahan dari
pertanaman kelapa sawit masih sangat kurang untuk dimanfaatkan sebagai pakan.
Oleh karena itu, konsep integrasi antara ternak dengan sawit dapat dimulai dari
hulu sampai ke hilir sehingga beberapa manfaat dari konsep tersebut dapat
diperoleh secara maksimal dan berkelanjutan.
BAB III
KESIMPULAN
Lingkungan
tumbuh tanaman kelapa sawit seperti iklim dan tanah, dan karakteristik tanaman kelapa
sawit seperti jenis tanaman, perakaran,
batang, dan tajuk, sangat memungkinkan untuk mengusahakan tanaman sela. Jenis
tanaman sela yang dapat diusahakan di antara tanaman kelapa sawit sangat banyak
jumlah dan beragamnya, tergantung kondisi iklim tanah, umur dan jenis tanaman
kelapa sawit, sistem dan jarak tanam, serta permintaan pasar.
Kurang
tersedianya teknologi tanaman sela di antara kelapa sawit bukan berarti menjadi
kendala untuk mengusahakan tanam sela karena kedekatan karakter tanaman kelapa
sawit dengan kelapa dapat dimanfaatkan untuk menggunakan teknologi tanaman sela
di antara kelapa pada kelapa sawit, terutama pada pertanaman kelapa sawit belum
menghasilkan. Tanaman sela di antara kelapa sawit akan lebih
menjamin/memperkaya ketersedian pakan (kuantitas dan kualitas) bagi integrasi
ternak dengan kelapa sawit, terutama pada periode tanaman belum menghasilkan di
mana sumber bahan baku pakan dari pertanaman kelapa sawit belum cukup tersedia.
DAFTAR
PUSTAKA
ANONYMOUS.
1998. Integration of animal production in coconut plantations. FAO Electronic
Conference : Livestock Feed Resources Within Integrated farming Systems. 11p.
ANONYMOUS.
2001. Ghana : The documented impacts of oil palm monocultures. Buletin WRM’s
No. 47, 2p.
ARANCON,
R.N. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based
Farming Systems :The Philippine experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech
Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 35 – 50.
CIPAV.
1998. Mixed farming systems: a sustainable solution for livestock production in
Latin America. Fundation CIPAV Mixed farming Production Systems. 4p.
DARWIS,
S.N. and D.D. TARIGANS. 1990. Coconut based farming system in Indonesia,
Coconut Based Farming System. Proc. of XXVII Cocotech Meeting. APCC. p : 148 –
160.
DUKE,
J.A. 1996. Elaeis guinensis Jacq. Handbook of Energy Crops. 7p.
ERHABOR,
J.O. and G.C. FILSON. 1999. Soil fertility changes under an oil palm-based
intercropping system. J. of Sustain. Agric. (14) : 45 – 62.
FAUZI
Y., WIDYASTUTI Y.E., SATYAWIBAWA I., dan HARTONO R. 2002. Kelapa sawit. Edisi
revisi. Budidaya, pemanfaatan hasil dan limbah, analisis usaha dan pemasaran.
Penebar Swadaya. 168p.
JALALUDIN,
S. 1998. Integrated animal production in the oil palm plantation. FAO
Electronic.Conference: Livestock Feed Resources Within Integrated farming
Systems. 5p.
LOLITSELA.
2003. Hasil-hasil penelitian sampai dengan 2002 dan program 2003 2004 Loka
Penelitian Tanaman Sela Perkebunan. Makalah pada pertemuan dan sinkronisasi
program litbang perkebunan dengan Direktorat Jenderal Perkebunan. Bogor. 16
hal.
LUBIS,
A.U. 1992. Kelapa sawit (Elaeis guneensis Jacq) di Indonesia. Pusat
Penelitian Marihat.
MAGAT,
S.S. 1999a. Production management of coconut. Agricultural Research and
Development Branch. Philippine Coconut Authority, 67p.
MAGAT,
S.S. 1999b. Coconut Based Farming Systems. Technology Notes for Practilio-ners.
PCA. Agricultural Research and Development Branch, p : 1 – 8.
MAHMUD,
Z. 1998. Tanaman sela di bawah kelapa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian XVII (2) : 61 – 67.
PRESTON,
T.R. 2000. Livestock production from local resources in an Integrated Farming
System; a sustainable alternative for the benefit of small scale farmers and
the environment. Workshop-seminar “Making better use of local feed resources”
SAREC-UAF, January 2000. 12p.
PURBA,
A., P. GIRSANG, W. DHARMOSARKORO dan Z. Poeloengan. 1998. Corn as an
intercropping in immature oil palm plantation. Journal of Indonesia Oil Palm
Research Institute 6 (1): 29-36.
RETHINAM,
P. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based
Farming Systems: Indian experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech Meeting 17 –
21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 1 – 21.
SANSOUCY,
R. 1988. Livestock a driving force for food security and sustainable development.
World Animal Review. “50 years”, Volume 84/85, No 2.
TARIGANS,
D.D. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based
Farming Systems : The Indonesian experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech
Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 21 –34
TARIGANS,
D.D. dan SUMANTO. 1995. Evaluasi pengembangan sistem usahatani kelapa pada
lahan pasang surut bergambut di Pulau Burung, Riau. Media Komunikasi Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Industri (15) : 105 – 110.
THAMPAN,
P.K. 2002. A strategic development agenda for enhancing income from coconut –
Indian experience. Proc. of The XXXIX Cocotech Meeting 1 – 5 July 2002,
Pattaya, Thailand. 21p.
WAIDAYANATHA,
U.P. DE S. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on
Coconut-Based Farming Systems: The Sri Lanka experience. Proc. of The XXXVIII
Cocotech Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 51 – 63
0 komentar:
Posting Komentar