Jumat, 27 Desember 2013

tanaman sela di antara kelapa sawit

BAB I
PENDAHULUAN

Secara nasional, produktivitas perkebunan di Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga, seperti kelapa sawit dengan Malaysia, karet dengan Thailand, kopi robusta dengan Vietnam, kelapa dengan Filipina, panili dengan Grenada, dan jambu mente dengan India. Kemampuan teknis dan manajemen masih rendah, demikian pula dengan daya adopsi teknologinya. Kelembagaan ekonomi petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang tersedia, sedangkan kelembagaan permodalan kurang mendukung. Demikian pula dengan kelembagaan pemasaran, kelembagaan informasi dan kelembagaan petani.
Kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, panili, jambu mente, cengkeh, teh, lada, tembakau, kapas dan jahe, adalah sebagian dari tanaman perkebunan yang diusahakan oleh perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) di berbagai pelosok tanah air. Sekitar 80% kegiatan perkebunan di Indonesia dilakukan oleh PR yang proporsinya berbeda-beda antar tanaman. Kelapa hampir seluruhnya (97%) diusahakan dalam bentuk PR; sedangkan kelapa sawit sebagian besar masih diusahakan oleh perkebunan besar (PBS dan PBN), sedangkan PR hanya sekitar 33%.
Tanaman kelapa dan kelapa sawit mempunyai banyak persamaan karakter, terutama dari segi morfologinya, khususnya lagi yang berkaitan dengan pertumbuhan vegetatif (perakaran, batang, daun dan tajuk) walaupun daur hidupnya berbeda. Demikian pula dengan persyaratan lingkungan tumbuh seperti iklim dan tanah, sehingga beberapa teknologi budidaya kedua jenis tanaman ini dapat dipertukarkan, seperti teknologi tanaman sela pada pertanaman yang belum menghasilkan. Namun demikian, tidak semua teknologi tanaman sela di antara kelapa dapat dipakai atau langsung dipakai pada kelapa sawit, seperti teknologi tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit yang menghasilkan perlu mempertimbangkan kelancaran pelaksanaan panen dan pengangkutan hasil panen. Untuk yang demikian tetap diperlukan penelitian untuk menghasilkan teknologi yang spesifik untuk kelapa sawit.
Secara teoritis, tidak semua jenis tanaman dapat diusahakan sebagai tanaman sela di antara tanaman pokok. Oleh karena itu perlu pemahaman yang mendalam tentang karakter tanaman pokok dan tanaman sela, sehingga aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep sinergisme dapat lebih ditingkatkan, sementara aspek-aspek merugikan yang berkaitan dengan antagonisme dan alelopati dapat ditekan seminimal mungkin.
Untuk kelangsungan usahatani tanaman sela di antara kelapa sawit, dalam memilih dan memadukan tanaman diperlukan jenis-jenis tanaman yang menunjukkan fungsi saling melengkapi sehingga dapat berinteraksi secara sinergi, bukannya bersaing satu sama lain. Kondisi yang demikian akan dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, dapat mengendalikan berkembangnya organisme pengganggu tanaman (OPT) dan memelihara organisme berguna, serta dapat memelihara.  kelestarian sumberdaya lahannya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil tanaman secara berkelanjutan. Di sisi lain, sistem pertanaman campuran dapat menghasilkan produk yang lebih beragam dan berkesinambungan, sehingga dapat memberikan suatu alternatif pemecahan masalah tentang resiko fluktuasi harga salah satu komoditas, dan dapat memberikan lebih banyak peluang bagi petani untuk mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan.
Lebih lanjut, tanaman sela di antara kelapa sawit akan lebih menjamin/memperkaya ketersediaan pakan (kuantitas dan kualitas) bagi integrasi ternak dengan kelapa sawit, terutama pada periode tanaman belum menghasilkan di mana sumber bahan baku pakan dari pertanaman kelapa sawit belum cukup tersedia.


BAB II
PEMBAHASAN

Mengusahakan tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura sebagai tanaman sela di antara kelapa sawit sangat berpeluang untuk dilakukan. Seperti kelapa, tanaman kelapa sawit memiliki karakter yang khas, seperti berumur panjang, lingkar batang dan bentuk tajuk yang relatif tetap, dan pertumbuhan akar yang terkonsentrasi secara vertikal di bawah permukaan tanah. Secara keseluruhan karakter yang dimiliki tanaman kelapa sawit tidak dimiliki oleh tanaman perkebunan lainnya, kecuali kelapa.
Jenis tanaman sela dan bentuk usahataninya tergantung sumber daya yang tersedia dan permintaan pasar. Sumber daya yang dimaksud berupa kondisi lahan dan iklim, kondisi tanaman kelapa sawit dan status teknologi, sedang bentuk usahataninya ditentukan oleh sosial budaya dan ekonomi petani, serta permintaan pasar.
Tanaman sela yang diusahakan di antara kelapa sawit dapat sejenis atau campuran. Tanaman sela campuran antara tanaman semusim dengan semusim, semusim dengan tahunan, atau antara tahunan dengan tahunan, tanaman pangan dengan tanaman perkebunan, tanaman pangan dengan hortikultura, atau tanaman perkebunan dengan hortikultura.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan tanaman sela di antara kelapa sawit meliputi:
(1) lingkungan tumbuh tanaman kelapa sawit, seperti iklim dan tanah,
(2) karakteristik tanaman kelapa sawit, seperti jenis, perakaran, batang, dan tajuk, dan (3) karakteristik tanaman sela.

A.     Iklim
Faktor iklim sangat berpengaruh tenhadap pertumbuhan dan produksi tandan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 12o lintang utaraselatan pada ketinggian 0-500 m dpl. Beberapa unsur iklim yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembaban udara, dan angin.
1.      Curah hujan
Curah hujan optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit 2.000-2.500 mm/tahun dengan  distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Curah hujan yang merata dapat menurunkan penguapan dari tanah dan tanaman kelapa sawit. Namun, yang terpenting adalah tidak terjadi defisit air sebesar 250 mm. Oleh sebab itu, musim kemarau panjang akan menurunkan produksi. Daerah di Indonesia yang sering mengalami kekeringan adalah Lampung dan Jawa Barat, sedangkan Kalimantan Timur dan beberapa lokasi lainnya hampir setiap 5-6 tahun sekali. Pada umumnya daerah dengan jumlah hujan yang tinggi terkadang menjadi masalah terutama jalan untuk transport, pembakaran, pemeliharaan, pemupukan, dan pencegahan erosi. Daerah di Indonesia seperti ini kebanyakan berada pada ketinggian di atas 500 m dpl, kecuali di beberapa lokasi pantai barat Sumatera.
2.      Cahaya matahari
Cahaya matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan buah. Untuk itu, intensitas, kualitas, dan lama penyinaran sangat berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan antara 5-7 jam/hari. Beberapa daerah seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan sering terjadi penyinaran matahari kurang dari 5 jam pada bulan-bulan tertentu, akibatnya dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas dan gangguan penyakit tanaman.
3.      Suhu
Selain curah hujan dan cahaya matahari yang cukup, tanaman kelapa sawit memerlukan suhu optimum 24-28°C, terendah 18°C dan tertinggi 32°C. Beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah lama penyinaran dan ketinggian tempat. Semakin lama penyinanan atau makin rendah suatu tempat, makin tinggi suhunya. Suhu berpengaruh terhadap masa pembungaan dan kematangan buah. Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada ketingginan lebih dari 500 m dpl akan terlambat berbunganya dibandingkan dengan yang ditanam di dataran rendah.
4.      Kelembaban dan angin
Kelembaban udara dan angin adalah faktor yang penting untuk menunjang pertumbuhan kelapa sawit. Kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80%. Kecepatan angin 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan. Angin yang kering menyebabkan penguapan lebih besar, mengurangi kelembaban, dan dalam waktu lama mengakibatkan tanaman layu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban adalah suhu, cahaya matahari, lama penyinaran, curah hujan, dan evapotranspirasi.

B.     Tanah
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial, atau regosol. Namun, kemampuan produksi kelapa sawit pada masing-masing jenis tanah tersebut tidak sama. Ada dua sifat utama tanah sebagai media tumbuh, yaitu sifat kimia dan sifat fisik tanah.
1.    Sifat fisik
Beberapa hal yang menentukan sifat fisik tanah adalah tekstur, struktur, konsistensi, kemiringan tanah, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah, dan kedalaman permukaan air tanah.Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah gembur, subur, berdrainase  baik, permeabilitas sedang, dan mempunyai solum yang tebal sekitar 80 cm tanpa lapisan cadas. Tekstur tanah ringan dengan kandungan pasir 20-60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%. Tanah yang kurang cocok adalah tanah pantai berpasir dan tanah gambut. Keadaan topografi pada areal perkebunan kelapa sawit berhubungan dengan kemudahan perawatan tanaman dan panen. Topografi yang dianggap cukup baik untuk tanaman kelapa sawitadalah areal dengan kemiringan 0-15°. Hal ini akan memudahkan pengangkutan buah dari pohon ke tempat penumpukan hasil atau dari kebun ke pabrik pengolahan. Areal dengan kemiringan lebih dari 15° masih memugkinkan ditanami, tetapi perlu dibuat teras. Areal seperti ini akan menyulitkan panen serta pengangkutan hasil.
Tabel 1. Kondisi fisik lahan untuk kelapa sawit
2.   Sifat kimia
Sifat kimia tanah dapat dilihat dari tingkat kemasaman dan komposisi kandungan hara mineralnya. Sifat kimia tanah mempunyai arti penting dalam menentukan dosis pemupukan dan kelas kesuburan tanah. Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang istimewa sebab kekurangan unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan. Walaupun demikian, tanah yang mengandung unsur hara dalam jumlah yang cukup sangat baik untuk pertumbuhan vegetative dan generatif tanaman, sedangkan kemasaman tanah menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsun-unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4,0-6,5 dengan pH optimum 5-5,5. Tanah yang memiliki pH rendah dapat diperbaiki dengan pengapuran, tetapi membutuhkan biaya yang tinggi. Tanah dengan pH rendah biasanya dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, dengan C/N mendekati 10 di mana C 1,0% dan N 0,1%. Daya tukar Mg dan K berada pada batas normal, yaitu untuk Mg 0,4 -1,0 me/100 g, sedangkan K 0,15-1,20 me/100 g. Namun, faktor pengelolaan budi daya atau teknis agronomis dan sifat genetis tanaman juga sangat menentukan produktivitas kelapa sawit.


C.     Karakteristik tanaman kelapa sawit
1.   Akar
Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman. Selain itu, sebagai penyangga berdirinya tanaman sehingga mampu menyokong tegaknya tanaman pada ketinggian yang mencapai puluhan meter sampai tanaman berumur 25 tahun. Akar tanaman kelapa sawit tidak berbuku, ujungnya runcing, dan berwarna putih atau kekuningan. Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Di samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Dengan perakaran kuat tersebut, jarang ditemukan pohon kelapa sawit yang tumbang.
Akar tertier dan kuarter merupakan bagian perakaran paling dekat dengan permukaan tanah. Kedua jenis akar ini banyak ditumbuhi bulu-bulu halus yang dilindungi oleh tudung akar (kaliptra). Bulu-bulu tersebut paling efektif dalam menyerap air, udara, dan unsur hara dari dalam tanah. Kedua akar ini paling banyak ditemukan 2-2,5 m dari pangkal batang dan sebagian besar berada di luar piringan. Pada bagian ini tanahnya akan lebih remah dan lembab sehingga merupakan lokasi yang paling sesuai untuk penyebaran pupuk. Akar tertier dan kuarter juga banyak ditemukan sampai dengan 1 m di dalam tanah. Bahkan ada yang mampu tumbuh sampai dengan kedalaman 5 m. Namun, sistem perakaran yang paling banyak ditemukan adalah pada kedalaman 0-20 cm, yaitu pada lapisan olah tanah (top soil). Oleh karena itu, jika menemukan sistem perakaran yang dangkal, perlu menjaga ketersediaan unsur hara dan permukaan air tanah yang lebih mendekati permukaan akar tanaman, terutama pada lahan gambut dan lahan kritis.
2.    Batang
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai dan tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. Tanaman yang masih muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-45 cm/tahun. Jika
kondisi lingkungan sesuai, pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100 cm/tahun. Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15-18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m. Pertumbuhan batang tergantung pada jenis tanaman, kesuburan lahan, dan iklim setempat.
3.    Daun
Daun kelapa sawit mirip daun kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai lebih dari 7,59 m. Jumlah anak daun di setiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur, daun cepat membuka sehingga makin efektif melakukan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin lama proses fotosintesis berlangsung semakin banyak bahan makanan yang dibentuk, sehingga produksi akan meningkat. Produksi daun tergantung iklim setempat. Di Sumatera Utara, misalnya produksi daun mencapai 20-24 helai/tahun. Umur daun mulai terbentuk sampai tua sekitar 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua.
Jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada umur tanaman. Tanaman yang berumur tua, jumlah pelepah dan anak daun lebih banyak. Begitu pula pelepahnya akan lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Berat kering satu pelepah dapat mencapai 4,3 kg. Pada tanaman dewasa ditemukan sekitar 40-50 pelepah. Saat tanaman berumur sekitar 10-13 tahun dapat ditemukan daun yang luas permukaannya mencapai 10-15 m2. Luas permukaan daun akan berinteraksi dengan tingkat produktivitas tanaman. Semakin luas permukaan atau semakin banyak jumlah daun maka produksi akan meningkat karena proses fotosintesis akan berjalan dengan baik. Proses fotosintesis akan optimal jika luas permukaan daun mencapai 11 m2 (LUBIS, 1992). Jumlah kedudukan pelepah daun pada batang kelapa sawit disebut phyllotaxis yang dapat ditentukan berdasarkan perhitungan susunan duduk daun, yaitu dengan menggunakan rumus duduk daun 1/8. Artinya, setiap satu kali berputar melingkari batang, terdapat duduk daun (pelepah) sebanyak 8 helai. Pertumbuhan melingkar duduk daun mengarah ke kanan atau ke kiri menyerupai spiral. Pada tanaman yang normal, dapat dilihat 2 set spiral berselang 8 daun yang mengarah ke kanan dan berselang 13 daun mengarah ke kiri. Arah duduk daun sangat berguna untuk menentukan letak duduk daun ke-9 dan ke-17 saat pengambilan contoh daun. Di samping itu, duduk daun juga berguna untuk menentukan jumlah daun yang harus tetap ada di bawah buah terendah yang disebut songgoh.
D.    Karakteristik tanaman sela
Pemilihan tanaman sela yang akan diusahakan di bawah pohon kelapa sawit didasarkan pada: karakteristik tanaman kelapa sawit dan tanaman sela, kesesuaian iklim dan penyebaran areal kelapa sawit, keadaan iklim mikro di bawah kelapa sawit terutama radiasi surya, suhu, dan kelembaban, dan persyaratan iklim tanaman sela meliputi radiasi surya, curah hujan, tinggi tempat, suhu, dan kelembaban. Kriteria umum jenis tanaman sela yang akan diusahakan, sebagai berikut:
Tanaman sela tidak lebih tinggi dan tanaman kelapa sawit selama periode pertumbuhan dan
·         sistem perakaran dan tajuknya menempati horizon tanah dan ruang di atas tanah yang berbeda.
·         Tanaman sela tidak merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit kelapa sawit dan tidak lebih peka dari tanaman kelapa sawit terhadap serangan hama dan penyakit tersebut.
·         Pengelolaan tanaman sela tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa sawit atau menyebabkan terjadinya erosi atau kerusakan tanah.  
·         Sesuai untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m dpl. dengan curah hujan 1.500-3.000 mrn/tahun dengan bulan kering maksimal 3 bulan berturut-turut. Toleran terhadap naungan dengan intensitas radiasi surya 50-200 W m2, suhu rata-rata 25-27° C dan kelembaban > 80%.
Berdasarkan kriteria tersebut, jenis tanaman sela yang berpeluang untuk diusahakan di bawah pohon kelapa serta persyaratan iklim yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 2.

TEKNOLOGI TANAMAN SELA DI ANTARA KELAPA DAN KELAPA SAWIT
Di antara sekian banyak jenis tanaman perkebunan, terdapat dua jenis tanaman yang mempunyai prioritas dan berpeluang cukup besar untuk ditanami tanaman sela, yaitu kelapa dan kelapa sawit. Kedua jenis tanaman ini mempunyai sifat agronomis dan agroekologis yang tidak jauh berbeda sehingga teknologi tanaman sela yang telah diperoleh dari salah satu jenis tanaman berpeluang diterapkan pada jenis lainnya.
Dukungan teknologi dan penerapan pola tanam tanaman sela di antara pertanaman kelapa relatif lebih luas dan lebih maju apabila dibandingkan dengan pada pertanaman kelapa sawit. Namun demikian, bukan berarti secara teknis agronomis penanaman tanaman sela di antara kelapa sawit tidak bisa dilakukan, tetapi semata-mata karena adanya perbedaan aspek pengusahaan dan budaya atau kebiasaan saja.
Perkebunan kelapa di Indonesia sebagian besar (97%) diusahakan dalam bentuk perkebunanrakyat yang umumnya dikelola dengan manajemen “seadanya” dan masih bersifat tradisional. Begitu juga dengan penerapan teknologi tanaman sela walaupun telah sejak lama dan umum dilakukan di tingkat petani tetapi tujuannya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari hari keluarga petani atau masih bersifat subsistem. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit pada umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan besar Swasta maupun Pemerintah yang dikelola dengan manajemen yang lebih maju dengan tujuan yang lebih diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Tabel 2. Jenis tanaman sela dan persyaratan iklim yang dikehendaki
Hasil-hasil penelitian tanaman sela di antara kelapa yang telah dilakukan di India, Sri Lanka, Filipina maupun di Indonesia menyimpulkan bahwa penerapan sistem usahatani berdasar kelapa (coconut-based farming system) memberikan beberapa keunggulan serta keuntungan yang siginifikan, diantaranya:
(1) pemanfaatan lahan usahatani lebih efisien dan produktif,
(2) meningkatkan produktivitas usahatani,
(3) meningkatkan pendapatan usahatani,
(4) pemakaian input usahatani lebih efisien, dan
(5) pendapatan petani menjadi lebih terjamin (DARWIS dan TARIGANS, 1990; TARIGANS dan SUMANTO, 1995; MAGAT, 1999a; MAGAT, 1999b; RETHINAM, 2001; TARIGANS, 2001; WAIDYANATHA, 2001; THAMPAN, 2002). Ditinjau dari analisis usahataninya (B/C ratio), beberapa hasil penelitian tanaman sela di antara kelapa telah banyak diperoleh (Tabel 3.)
Tabel 3. Analisis usahatani (B/C ratio) polatanam kelapa (Lolitsela, 2003)
Pada beberapa daerah pertanaman kelapa sawit terdapat juga beberapa yang mengusahakan tanaman sela dari jenis tanaman pangan dan hortikultura seperti jagung, ubikayu, ubi rambat, maupun pisang. Areal pertanaman yang tidak ditanami tanaman sela umumnya ditanami berbagai jenis rumput dan leguminosa penutup tanah seperti Calopogonium sp, Centrosema pubescens, Pueraria phaseoloides, dan Desmodium audifolium (DUKE, 1983; JALALUDIN, 1998). Hasilpenelitian menunjukkan bahwa penanaman tanaman sela jagung tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit muda sebagai tanaman pokoknya, bahkan secara ekonomi dapat menambah keuntungan dengan B/C ratio antara 1,30–2,05 (PURBA et al., 1998). Keuntungan lainnya dari konsep oil palm-based intercropping system adalah menunjang keberlanjutan usaha pertanian melalui maksimalisasi penggunaan lahan, stabilitas hasil dan keuntungan (ERHABOR dan FILSON, 1999). Sementara itu dampak yang kurang menguntungkan dari pola pertanaman kelapa sawit monokultur, mulai dari isu ketahanan pangan sampai isu pelestarian lingkungan, telah cukup dirasakan oleh sebagian negara penghasil sawit seperti Ghana (ANONYMOUS, 2001).
Dalam konsep integrasi ternak dengan sawit, di samping limbah sawit yang dapat diolah menjadi pakan, vegetasi rumput dan atau cover crop jenis leguminosa juga dijadikan sebagai sumber pakan. Ditinjau dari aspek pertanaman kelapa sawitnya, beberapa keuntungan dari vegetasi rumput dan atau cover crop yang dijadikan sebagai sumber pakan ialah: (1) dapat mengurangi biaya pengendalian gulma, (2) polusi lingkungan pertanaman dan tanah dapat dikurangi karena penggunaan bahan kimia dapat ditekan, dan (3) dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga biaya pemupukan dapat dikurangi (JALALUDIN, 1998). Keuntungan seperti ini pun identik dengan keuntungan yang dapat diperoleh dari konsep integrasi antara ternak dengan kelapa (ANONYMOUS, 1998). Oleh karena itu, vegetasi rumput diantara pertanaman kelapa sawit maupun kelapa yang pada awalnya merupakan gulma yang merugikan dapat berubah menjadi tanaman yang menguntungkan apabila dikelola dengan konsep yang lebih baik dan terpadu dalam suatu bentuk farming system. Contoh seperti ini telah dialami oleh negara Amerika Latin sebagai salah satu solusi dalam memproduksi pakan secara berkelanjutan, baik pada pertanaman kelapa sawit maupun pada pertanaman tebu (CIPAV, 1998).
Di segi lainnya, salah satu solusi masalah adanya kompetisi terhadap kebutuhan bahan dasar,
terutama dari butiran hasil tanaman serealia (cereal grain), untuk pakan ternak dan untuk kebutuhan manusia di tahun 2050 adalah bahwa pengembangan sistem produksi pakan tidak harus bergantung lagi terhadap grain cereal yang dimaksud serta proses industrialisasinya (PRESTON, 2000). Berdasarkan informasi dapat diketahui bahwa kebutuhan grain cereal dunia untuk keperluan pakan mencapai hampir 50% (SANSOUCY, 1998) Berdasarkan hal tersebut maka alternatif sistem non-grain natural resources melalui pola integrated farming system berdasar tanaman perkebunan (contoh kelapa sawit, kelapa, aren, tebu) untuk memproduksi pakan memberikan beberapa keuntungan: (1) dapat mengurangi adanya efek kontaminasi terhadap lingkungan, (2) dapat menambah kesempatan kerja keluarga tani, (3) memperluas biodiversitas, dan (4) produk pakan lebih berkualitas (PRESTON, 2000).
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa aspek agronomis dan agroekologis pertanaman
kelapa sawit hampir identik dengan pertanaman kelapa. Oleh karena itu, beberapa teknologi pola tanam tanaman sela yang telah diperoleh pada pertanaman kelapa berpeluang diterapkan pada pertanaman kelapa sawit. Beberapa jenis tanaman sela, baik dari jenis tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan lainnya, di samping dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan manusia juga limbah tanamannya (langsung maupun melalui pengolahan lebih lanjut), terutama sewaktu tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) bahan dari pertanaman kelapa sawit masih sangat kurang untuk dimanfaatkan sebagai pakan. Oleh karena itu, konsep integrasi antara ternak dengan sawit dapat dimulai dari hulu sampai ke hilir sehingga beberapa manfaat dari konsep tersebut dapat diperoleh secara maksimal dan berkelanjutan.


BAB III
KESIMPULAN

Lingkungan tumbuh tanaman kelapa sawit seperti iklim dan tanah, dan karakteristik tanaman kelapa  sawit seperti jenis tanaman, perakaran, batang, dan tajuk, sangat memungkinkan untuk mengusahakan tanaman sela. Jenis tanaman sela yang dapat diusahakan di antara tanaman kelapa sawit sangat banyak jumlah dan beragamnya, tergantung kondisi iklim tanah, umur dan jenis tanaman kelapa sawit, sistem dan jarak tanam, serta permintaan pasar.
Kurang tersedianya teknologi tanaman sela di antara kelapa sawit bukan berarti menjadi kendala untuk mengusahakan tanam sela karena kedekatan karakter tanaman kelapa sawit dengan kelapa dapat dimanfaatkan untuk menggunakan teknologi tanaman sela di antara kelapa pada kelapa sawit, terutama pada pertanaman kelapa sawit belum menghasilkan. Tanaman sela di antara kelapa sawit akan lebih menjamin/memperkaya ketersedian pakan (kuantitas dan kualitas) bagi integrasi ternak dengan kelapa sawit, terutama pada periode tanaman belum menghasilkan di mana sumber bahan baku pakan dari pertanaman kelapa sawit belum cukup tersedia.


DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS. 1998. Integration of animal production in coconut plantations. FAO Electronic Conference : Livestock Feed Resources Within Integrated farming Systems. 11p.

ANONYMOUS. 2001. Ghana : The documented impacts of oil palm monocultures. Buletin WRM’s No. 47, 2p.

ARANCON, R.N. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based Farming Systems :The Philippine experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 35 – 50.

CIPAV. 1998. Mixed farming systems: a sustainable solution for livestock production in Latin America. Fundation CIPAV Mixed farming Production Systems. 4p.

DARWIS, S.N. and D.D. TARIGANS. 1990. Coconut based farming system in Indonesia, Coconut Based Farming System. Proc. of XXVII Cocotech Meeting. APCC. p : 148 – 160.

DUKE, J.A. 1996. Elaeis guinensis Jacq. Handbook of Energy Crops. 7p.

ERHABOR, J.O. and G.C. FILSON. 1999. Soil fertility changes under an oil palm-based intercropping system. J. of Sustain. Agric. (14) : 45 – 62.

FAUZI Y., WIDYASTUTI Y.E., SATYAWIBAWA I., dan HARTONO R. 2002. Kelapa sawit. Edisi revisi. Budidaya, pemanfaatan hasil dan limbah, analisis usaha dan pemasaran. Penebar Swadaya. 168p.

JALALUDIN, S. 1998. Integrated animal production in the oil palm plantation. FAO Electronic.Conference: Livestock Feed Resources Within Integrated farming Systems. 5p.

LOLITSELA. 2003. Hasil-hasil penelitian sampai dengan 2002 dan program 2003 2004 Loka Penelitian Tanaman Sela Perkebunan. Makalah pada pertemuan dan sinkronisasi program litbang perkebunan dengan Direktorat Jenderal Perkebunan. Bogor. 16 hal.

LUBIS, A.U. 1992. Kelapa sawit (Elaeis guneensis Jacq) di Indonesia. Pusat Penelitian Marihat.

MAGAT, S.S. 1999a. Production management of coconut. Agricultural Research and Development Branch. Philippine Coconut Authority, 67p.
MAGAT, S.S. 1999b. Coconut Based Farming Systems. Technology Notes for Practilio-ners. PCA. Agricultural Research and Development Branch, p : 1 – 8.

MAHMUD, Z. 1998. Tanaman sela di bawah kelapa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVII (2) : 61 – 67.

PRESTON, T.R. 2000. Livestock production from local resources in an Integrated Farming System; a sustainable alternative for the benefit of small scale farmers and the environment. Workshop-seminar “Making better use of local feed resources” SAREC-UAF, January 2000. 12p.

PURBA, A., P. GIRSANG, W. DHARMOSARKORO dan Z. Poeloengan. 1998. Corn as an intercropping in immature oil palm plantation. Journal of Indonesia Oil Palm Research Institute 6 (1): 29-36.

RETHINAM, P. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based Farming Systems: Indian experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 1 – 21.

SANSOUCY, R. 1988. Livestock a driving force for food security and sustainable development. World Animal Review. “50 years”, Volume 84/85, No 2.

TARIGANS, D.D. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based Farming Systems : The Indonesian experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 21 –34

TARIGANS, D.D. dan SUMANTO. 1995. Evaluasi pengembangan sistem usahatani kelapa pada lahan pasang surut bergambut di Pulau Burung, Riau. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri (15) : 105 – 110.

THAMPAN, P.K. 2002. A strategic development agenda for enhancing income from coconut – Indian experience. Proc. of The XXXIX Cocotech Meeting 1 – 5 July 2002, Pattaya, Thailand. 21p.


WAIDAYANATHA, U.P. DE S. 2001. Research outputs and farmers adoption of technology on Coconut-Based Farming Systems: The Sri Lanka experience. Proc. of The XXXVIII Cocotech Meeting 17 – 21 July 2001, Ho Chi Minh City, Vietnam, p : 51 – 63

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Mega's Blogg and Powered by Blogger.