Selasa, 27 Desember 2011

Makalah Toksikologi




BAB II
METODE KERJA

1.    Obyek penelitian. Sebanyak 10 kera ekor panjang Macaca fasicularis berumur  3 tahun dengan berat tubuh  3,5 kg yang diperoleh dari Bagian Primata IPB – Bogor, dipelihara/karantina dikandang hewan Laboratorium Bidang Biomedika selama 7 hari, dan dipantau makanan dan kesehatannya oleh dokter hewan.
2.    Perlakuan. Macaca fasicularis dibius menggunakan obat bius katalar sebanyak 0,1cc/kg berat badan disuntikkan secara intramaskuler. Setelah pingsan, darah kera diambil melalui vena paha sebanyak 5 ml untuk dilakukan pemeriksaan ureum, kreatinin, gula darah, protein total, SGOT, dan SGPT (sebagai kontrol). Dekontaminan PB dengan dosis 600, 900, 1050 mg/BB di berikan secara oral selama 3 hari berturutturut sehingga dosis totalnya 1.800, 2.700 dan 3.150 mg/BB. Penentuan konsentrasi tak toksik dekontaminan dilakukan dengan pengamatan uji klinik pemeriksaan urium, kreatinin, gula dalam darah, total protein, SGOT, SGPT, hematologi, urin, feses dan fisik hewan percobaan pada hari-hari ke 0, 1, 2, 3, 7, 14, 21, 28, 35 pasca pemberian PB.



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hati merupakan organ tubuh yang mempunyai fungsi cukup kompleks. Salah satu fungsi hati adalah sebagai tempat pembentukan dan ekskresi empedu, tempat menyimpan zat hidrat arang berupa glikogen, mengatur dan mempertahankan kadar glukosa dalam darah, mengatur daya pembekuan darah, metabolisme dan sintetis protein dan lemak. Hasil pengamatan kandungan glukosa darah kera yang diberi PB dosis 600, 900, 1050 mg/BB selama 3 hari, Terlihat bahwa untuk kera kontrol kandungan glukosa relatif konstan (tetap dalam batas normal), tetapi untuk kera yang diberi dekontaminan 600, 900, 1050 mg/BB kandungan glukosanya menurun pada hari pertama pasca pemberian PB terutama untuk kera diberi dosis 900 dan 1050 mg/BB. Kadar glukosa darahnya kemudian meningkat kembali ke tingkat normal pada hari ke 14 – 35 pasca pemberian PB. Penurunan glukosa pada hari pertama pasca pemberian PB diduga disebabkan karena adanya efek toksik dari PB. Selain itu penurunan glukosa juga dapat disebabkan oleh perubahan glukosa oleh eritrosit menjadi laktat melalui proses glikolisis, jaringan adipose dan kelenjar susu yang memprosesnya menjadi lemak dan laktosa, serta hati dan jaringan ekstrahepatik seperti otot.
Fungsi hati dalam metabolisme protein salah satunya ditentukan dengan pemeriksaan total protein dalam darah. Protein dalam serum sebagian besar terdiri dari albumin dan globulin, sedangkan dalam plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Sel-sel parenchym hati membuat sebagian besar dari albumin, alfa-globulin, beta-globulin dan fibrinogen, sedangkan gamma-globulin disintesa dalam RES, dan nilai total protein berkurang atau menurun pada gangguan fungsi hati. Tugas utama plasma protein adalah pengikat air dan fungsi transformasi disamping itu juga sebagai buffer dan kolloid lindung, yang mengandung antibody dan faktor-faktor untuk pembekuan darah. Kadar protein dalam darah tergantung dari banyaknya protein dan banyaknya air dalam darah.
Hasil pengamatan kandungan protein dalam darah kera pasca pemberian dekontaminan PB dengan dosis 600, 900, 1050 mg/BB, tampak nilai protein total dalam darah kera yang diberi PB dosis 600, 900, 1050 bila dibandingkan dengan kontrol pada hari pertama mengalami penurunan terutama pada dosis 900 dan 1050 mg/BB dan meningkat kembali pada hari ke 28 sampai hari ke 35. Kemungkinan penurunan kadar protein disebabkan karena kera mengalami kehilangan cairan tubuh dan nafsu makan berkurang yang menyebabkan gangguan sesaat terhadap metabolisme protein sehingga fraksi protein dalam darah mengalami perubahan.
SGOT adalah enzim yang mengkatalisir pemindahan reversible gugus alfa amino, alanine menjadi asam glutamat dan asam piruvat, enzim ini didapatkan dalam sel hati dalam kadar yang jauh lebih tinggi dari pada dalam sel-sel jantung dan otot, oleh karena itu untuk data klinik test SGOT lebih peka bagi pemeriksaan dengan dugaan suatu acute hepato cellular. Hasil pengamatan kadar SGOT dan SGPT dalam darah kera yang diberi dekontamainan PB dosis 600, 900, 1050 disajikan dalam penjelasan berikut bahwa, dibandingkan dengan kontrol kadar SGOT dalam darah kera diberi PB mengalami kenaikan sesaat pada hari ke 1 pasca pemberian dekontaminan dan menurun kembali pada hari ke 14. Untuk pemberian dekontaminan dengan dosis 1050 mg/BB, kera mengalami kenaikan cukup tinggi bila dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 7 dan kembali menurun, tetapi masih di atas nilai kadar SGOT kontrol. Kenaikan kadar SGOT dalam darah dikarenakan rusaknya fungsi hati pada sesaat, perubahan temporer ini dapat disebabkan oleh dosis dekontaminan PB.
            Dari hasil pengamatan kandungan SGPT  terlihat bahwa untuk kera yang diberi dekontaminan 1050 mg/BB mengalami kenaikan SGPT pada hari ke 3 pasca pemberian PB bila dibandingkan dengan kontrol, untuk dosis 600 dan900 menurun tetapi kenaikan kadar SGPT masih dalam batas-batas normal.
            Hasil pengamatan fungsi ginjal kera ekor panjang ditentukan dengan pengamatan kandungan ureum dan kreatinin dalam darah. Hasil pengamatan kandungan ureum darah kera baik yang diberi dekontaminan 600, 900, 1050 mg/BB maupun kontrol menunjukkan bahwa antar kera yang diberi PB 600 mg/BB dengan kontrol tidak berbeda kandungan ureumnya yang relatif konstan dalam batas-batas normal (17 – 83 mg/dl). Tetapi bila dibandingkan kera kontrol dengan kera yang diberi PB 900 dan 1050 terdapat perbedaan pada hari pertama mengalami sedikit kenaikan, terutama untuk kera yang diberi dosis 1050 mg/BB, pada hari ke 1 pasca pemberian PB sampai hari ke 21 dan kadar ureum darah kembali konstan dalam nilai batas normal pada pengamatan hari ke 35.
            Seperti diduga sebelumnya bahwa kerusakan fungsi ginjal dapat dideteksi dengan melihat kandungan kreatinin dan ureum dalam darah, suatu kenaikan kecil kadar kreatinin dan ureum sudah merupakan tanda kerusakan fungsi ginjal. Pada
hari pertama pasca pemberian dekontaminan kadar kreatinine darah mengalami kenaikan sedikit bila dibandingkan dengan kontrol, terutama untuk kera yang diberi dosis dekontaminan 1050mg/BB, tetapi masih dalam kisaran normal (0,64 – 1,66 mg/dl), pada hari ke 28 pasca pemberian PB, nilai kreatinin menurun kembali.




BAB IV
PENUTUP

I.       Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dekontaminan PB tidak mempengaruhi kadar ureum, kreatinin, gula, protein total, SGOT dan SGPT (fungsi ginjal dan hati) dalam darah sampai hari ke 35 pasca pemberian PB, tetapi kadar gula, protein total, dan enzim-enzim dalam darah sedikit lebih tinggi daripada kontrol dan masih dalam batas-batas normal. Perubahan terjadi pada hari pertama dan kembali normal dalam waktu 7 hari pasca pemberian. Dosis PB hingga dosis 1050 mg/BB belum  bersifat toksik pada hewan percobaan .



DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS, Influence of Prussian Blue on Metabolism of Cs-137 and Rb-86 9n
Rats, Health Physics, Pergamon Prees, Oxford Vol. 22 : 1-18, 1972.

ALATAS, Z., Efektifitas Prussian Blue untuk dekontaminasi Cs-137 pada tikus putih (1996).

ALATAS, Z., Pengaruh konsentrasi Prussian Blue dan DTPA terhadap efektifitas
eliminasi Cs-137 dan Am-241, Prosiding.

AMUNDSON, S.A. and FORNACE, AJ Jr. Gene Expression Profiles for
Monitoring Radiation Exposure. Radiation Protection Dosimetry 97(1), 11-16.2001.

Brenot,A,Rinaldi,R” Toxicite et efficacite compares de quatre ferrocyanures dans
Ia decontamination du cesium radioactive 134; ( Comparative toxictay and effectiveness of 4 ferrocyanides in decontamination from radioactive cesium-134 .; Pathol. Biol (Paris) 55-59. 1967.

BUSER.H.J., SCHWARZENBACH, D., PETTER,W., LUDI.A ; The crystal
structure of Prussian blue Fe[Fe(CN)6-]3 x h2o, Inorg. Chem 16(11) 2704 – 2709, 1977.

DURBIN,P.W., KULLGREN, B., XU,J. and RAYMOND, K.N.Multidentate
Hydroxypyridinonate Ligands For Pu (IV) Chelation in vivo : Comparative Efficacy and Toxicity in Mouse of Ligands Containing 1,2-HOPO 0r Me-3,2- HOPO. Int.J. Radiat. Biol. 76. 199-214. 2000.

FLIEDNER, T.M., DORR, H.D., and MEINEKE, V., Multi-organ involvement as a
pathogenic principle of the radiation symdromes: a study involving 110 case histories documented in SEARCH and classified as the bases of haematopoietic indicators of effect, British Journal of Radiology 27 (supplement), 1-8, 2005.

GUSKOVA, A.K., Radiation sickness classification, dalam : Gusev IA, Guskova
AK, Mettler FA eds, Medical management of radiation accidents, CRC Press,Washington DC, 2001.

LINIECKI, J., BAJERSKA, A., and WYSZYNSKA, K., Dose-response
relationship for chromosome aberrations in peripheral blood lymphocyte after whole- and partial-body irradiation, Mutation Research 110, 103-110, 1983.

NCRP Report No 65. Management of Persons Accidentally Contaminated with
Radionucides National Council on Radiation Protection and
Messurements,Bethesda, Maryland, 1979.

SITI NURHAYATI, Biokenetika Radionuklida di dalam tubuh, efek paparan
interna, dan metoda dekontaminasi, 1995. Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan.

SYAIFUDIN, M., LUSIYANTI, Y. dan RAHARDJO, T., Perubahan glukosa darah
tikus putih yang diberi DMSO dan cystein akibat paparan sinar gamma, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah, PPNY-BATAN, Yogyakarta, 1992, 888-893.

UNITED NATIONS SCIENTIFIC COMMITTEE ON THE EFFECTS OF
ATOMIC RADIATION, Ionizing radiation: sources and biological effects, 1982 Report to the General Assembly, United Nations, New York, 1982.

WALDEN, T.L. Jr., Long term/low level effects of ionizing radiation, In: Walker
RI, Cervaney TJ (editors) Textbook of military medicine, Vol. 2: medical consequences of nuclear warfare, TMM Publication, Falls Church VA, 1989.

ZUBAEDAH ALATAS, Distribusi dan Dekontaminasi Thorium-232 Pada Tikus
Putih Pasca Pemberian Thorium Nitrat Melalui Mulut, 1994. Presentasi Ilmiah dan Keselamatan Radiasi dan Lingkungan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Mega's Blogg and Powered by Blogger.