BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di
dunia (setelah Australia, 2006). Menurut Gautama (2007) dalam Anonim (2011)
untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah
peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas
peringkat ke-8 dunia.
Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis
sub-bituminus yang dapat merepresentasikan produksi batubara Indonesia.
Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah
ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan
batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam
antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%)
serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%) (Asthary,
2008).
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi
yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak
lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak
diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama
bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit
mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di
atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau
melepaskan biji tanbang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan
emas, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang
dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan.
Pada pertambangan bawah (underground mining)
kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing)
yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun tambang
terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S
dari senyawa pirit (Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam (Acid
Mine Drainage / Acid Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran
permukaan pada saat hujan, dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga
menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang
tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi
mencemari lahan pertanian.
B. Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa apa yang di
maksud dengan bioremediasi tambang batubara.
2.
Untuk mengetahui jenis-jenis
bioremediasi
3.
Untuk mengetahui dampak yang di
timbulkan oleh tambang batubara.
4.
Untuk mengetahui cara atau proses
pemulihan tambang batubara.
5.
Untuk mengetahui jenis-jenis bakteri
yang digunakan pada proses bioremediasi tambang batubara.
6.
Untuk mengetahui cara mengatasi
hujan asam.
7.
Untuk mengetahui beberapa metode
penanganan pencemaran tambang batubara.
C. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
bioremediasi tambang batubara?
2.
Jenis-jenis bioremediasi?
3.
apakahdampak yang di timbulkan oleh
tambang batubara?
4.
Bagaimana cara atau proses pemulihan
tambang batubara?
5.
Jenis-jenis apakah bakteri yang
digunakan pada proses bioremediasi tambang batubara?
6.
Bagaimana cara mengatasi hujan asam?
7.
Metode apakah yang digunakan dalam
penanganan pencemaran tambang batubara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak
Pertambangan Batubara
Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan
baik aspek iklim mikro setempat dan tanah. Kerusakan klimatis terjadi akibat
hilangnya vegetasi sehingga menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata
air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen, pengatur
suhu. Lahan bekas tambang batubara juga mengalami kerusakan. Kerapatan tanah
makin tinggi, porositas tanah menurun dan drainase tanah, pH turun, kesedian
unsur hara makro turun dan kelarutan mikro meningkat. baik, dan mengandung
sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami. Bila tergenang air hujan berubah
menjadi rawa-rawa.
Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari
pertambangan batubara :
1. Lubang
tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksasa
atau kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin
bisa direklamasi
2.
Air Asam tambang: mengandung logam
berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang
3.
Tailing: teiling mengandung
logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti tembaga, timbal,
merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
4.
Sludge: limbah cucian batubara yang
ditampung dalam bak penampung yang juga mengandung logam berbahaya
seperti boron, selenium dan nikel dll.
5. Polusi udara
: akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk
dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Menurut logika, udara kotor
pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam
merangsang penyakit pernafasan seperti influensa, bronchitis dan pneumonia
serta penyakit kronis seperti asma dan bronchitis kronis.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD)
berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun
sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) dalam Widyati (2010) pada lahan
bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2
dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu
keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak
tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya
meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004)
dalam Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan
logam-logam berat pada lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi
perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat
cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan
maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat
mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan
yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas
pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang
menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu,
kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.
B. Definisi
Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk
mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah
struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan
beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi
metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2011).
Menurut Anonim (2011) menyatakan bahwa bioremediasi
adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme
(jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat
didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari
bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan
organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun
makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005).
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan
mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi
telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa
kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan
industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam
berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti
pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan
mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang
bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi
jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan
bioremediasi melalui teknologi genetik.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan
di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme
rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan
minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya
ditemukan pada minyak bumi.
Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan
bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di
laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil
dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen
berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk
mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung
bertahan di lingkungan.
C. Jenis Bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah
sebagai berikut:
1.
Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas,
ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan
dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah
tersebut.
2.
Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan
kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini
yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat.
Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat
sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat
berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh
mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan
ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
3.
Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam
air atau tanah yang tercemar. Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan
dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi
yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan
penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut,
apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme
itu dilepaskan ke lingkungan.
D. PENANGANAN
MASALAH
1.
Penanggulangan Acid Mine
Drainage/AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk
menanggulangi acid mine drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik
yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat
mengatasi AMD secara menyeluruh.
Teknik ini yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia,
misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya
dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik
(anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia
juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan
memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup
menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan
bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang
Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi
> 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut
dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD
belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan
terbentuknya AMD.
Bagaimana cara untuk mencegah kontak mineral
sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur
(BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT.
Bukit Asam Tbk menghambat kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas
tambang dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang
dikeluarkan untuk kegiatan ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD
secara geokimia jauh lebih lambat dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh
BOS. Sehingga di PT. Bukit Asam masih terjadi AMD.
Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci untuk
mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan
organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada
lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat.
Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat
juga penambahan bahan organik.
Oleh sebab itu bahan organik dapat berperan
sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur
hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK
dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang
banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang
yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik
melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
2.
Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans
Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan Batu Bara
Kelompok bahan galian metalliferous antara lain
adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng, timah, mangan. Sedangkan bahan galian
nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak,
asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan
batuan ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine,
dan granite.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat
dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal
ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran
batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga
dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida
belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan
atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga
menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi
kesehatan (pernafasan).
Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan
dengan tiga metode, yaitu fisika, kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur
secara biologis atau biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan
menggunakan mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH,
medium nutrisi, konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel,
komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan surfaktan,
serta interaksi dengan mikroorganisme lain.
Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi
batubara. Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk
desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus
ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi
kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus
ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur,
sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur
dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi
teroksidasi.
Bakteri
Thiobacillus ferrooxidans adalah Bakteri gram negatif aerobik khemolitotrofik
Bakteri berbentuk batang. Merupakan bakteri saprofit, yaitu bakteri yang
hidupnya dari sisa-sisa organisme mati atau sampah, Thiobacillus adalah warna,
dengan kutub flagella bakteri. Mereka memiliki sebuah besi oxida, yang
memungkinkan mereka untuk memetabolisme ion besi. Thiobacillus ferrooxidans
adalah bakteri di udara. bakteri thermophilic, memilih dari suhu 45-50 derajat
Celcius. Selain itu, dan bakter acidophilic, memilih sebuah pH dari 1,5 menjadi
2.5. Beberapa spesies, namun hanya tumbuh dalam pH netral
3.
Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat
dalam Penanganan Air Asam Tambang
Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk
mengatasi air asam tambang dan logam berat terlarut terutama dari pertambangan
batu bara. Teknologi tersebut mengandalkan aktivitas berbagai bakteri pereduksi
sulfat diantaranya Desulfotomaculum orientis ICBB 1204, Desulfotomaculum
sp ICBB 8815 dan ICBB 8818 yang mengubah sulfat dalam air asam tambang
menjadi hidrogen sulfida dan kemudian bereaksi dengan logam berat. Setelah
reaksi belangsung pH (keasaman) air asam tambang yang mula-mula berkisar dari 2
– 3 meningkat mendekati netral (6-7). Sementara logam berat yang terdapat air
asam tambang mengendap.
Dari hasil penelitian Santosa (2009) selama sembilan
(9) tahun diperoleh teknologi yang mampu meningkatkan pH ke netral dan menurunkan
konsentrasi berbagai logam berat diantaranya Cr, Pb dan Cd. Teknologi ini
efisien, karena hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya penanganan air asam
konvensional.
Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a),
menyatakan bahwa Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio
dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6
sampai netral, sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang
termofil (menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas
tambang batubara setelah diberi perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6
dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C) tidak termofil (>55°C)
sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya
dengan genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) dalam
Anonim (2010a), menyatakan bahwa media Postgate yang digunakan merupakan media
selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga
dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada
kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai
hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung pertumbuhan
tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.
4.
Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu
Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen
dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih efektif dibandingkan perlakuan top
soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses bioremediasi tanah bekas
tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan sumber
inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang
batubara menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil amendment)
dan inokulasi mikroba yang efektif.
Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas
tambang batubara mampu menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48
persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi sulfat menjadi
senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.
5.
Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat
perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan
ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan
senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan
industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang
sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak
dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat
diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan
memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin
meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam
Madjid, 2009).
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi
tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa
ekstramatrik dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009).
sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak
semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam
beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda.
Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping
dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme
pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan
pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam
ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan
sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian
bibit dan menggagalkan prgram reboisasi.
Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009)
pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr.
Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak
dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus
sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus
yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni
yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus
yang tidak tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh
limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur
aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001
dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat
berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam
jangka waktu yang pendek.
Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan
terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan
spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009)
menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik
aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap
pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza
laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan
mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka
laju penurunan hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara
diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18
spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman
yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya
“oil droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa
ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap
oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses
unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam
Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan
unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi,
menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa
cendawan.
Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009)
menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami
pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara,
atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat
mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.
6.
Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan
Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu Bara
Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak
yang ditimbulkan oleh penambang batu bara dapat ditempuh dengan beberapa
pendekatan, untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai berikut :
a.
Pendekatan teknologi, dengan
orientasi teknologi preventif (control/protective) yaitu pengembangan
sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan mengurangi
keruwetan masalah transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar
dari ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar
meminimalkan risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
b.
Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi
penataan lingkungan sehingga akan terhindar dari kerugian yang ditimbulkan
akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi dan penghijauan kembali bekas
penambangan batu bara dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk malaria.
Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat perindukan
nyamuk (breeding place).
c.
Pendekatan administratif yang mengikat semua
pihak dalam kegiatan pengusahaan penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku (law enforcement)
d.
Pendekatan edukatif, kepada
masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan memberikan
penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan
membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini
adalah:
1.
Sofyan (2009) mengemukakan bahwa
beberapa dampak dari pertambangan batubara :
a.
Lubang tambang.
b.
Air Asam tambang
c.
Tailing
d.
Sludge
e.
Polusi udara
2.
Bioremediasi pada lahan
terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean
up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau
dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan
mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan)
3.
Jenis-jenis bioremediasi adalah
sebagai berikut:
·
Biostimulasi
·
Bioaugmentasi
·
Bioremediasi Intrinsik
4.
Beberapa metode penanganan
pencemaran tambang batubara, yaitu :
a.
Penanggulangan Acid Mine
Drainage/AMD
c.
Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat
dalam Penanganan Air Asam Tambang
d.
Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu
Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
e.
Bioremediasi Tanah Tercemar
5.
Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan
Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu Bara, yaitu :
a.
Pendekatan teknologi, dengan
orientasi teknologi preventif (control/protective.
b.
Pendekatan lingkungan yang ditujukan
bagi penataan lingkungan sehingga akan terhindar dari kerugian yang
ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan.
c.
Pendekatan administratif yang
mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan penambangan batu bara
tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law enforcement)
d.
Pendekatan edukatif, kepada
masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan memberikan
penyuluhan/ penerangan terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan
membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.
B. SARAN
Kepada
banyak perusahaan yang membuka usaha tambang batubara sebaiknya tidak terlalu
lama melakukan kegiatan pertambangan agar tanah yang digali tidak terlalu
hilang kesuburannya dan selalu mengantisipasi semua jenis pencemaran yang
dihasilkan oleh tambangnya sehingga tingkat pencemaran yang terjadi di sekitar
daerah pertambangan bisa di minimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Pemanfaatan Bakteri
Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi TanahBekas Tambang Batubara. http ://goblog06.
blogspot.com /2010/05/ pemanfaatan-bakteri-pereduksi-sulfat_02.html. 1 Desember 2011
Anonim.
2011. Bahan Perkuliahan Teknik Elektro Unand. Sumber Daya Alam. http://bahanelektro.blogspot.com/2010/02/sda-sumber-daya-alam. 1 Desember 2011
Anonim. 2011. Bakteri Thiobacillus
Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan (Batu Bara). http://.bioindustri.blogspot.com/2008/09/bakteri-thiobacillus-ferrooxidans.html.
1 Desember 2011.
Anonim. 2006a. Limbah Industri
Kertas Perbaiki Lahan Tambang Batubara. http://www.ipb.ac.id/Bogor Agricultural
University – Limbah Industri Kertas Perbaiki Lahan Tambang Batubara.html. 1
Desember 2011.
Anonim. 2011.Rehabilitasi Lahan
Bekas Tambang Menuju Pemanfaatan Lahan Yang Berkelanjutan : Leaflet Seminar
Nasional. http:// pkrlt. ugm. ac. id/ files/ 2006%20.
LEAFLET%20SEMINAR%20PKRLT.pdf. 1 Desember 2011.
Arifin, H. 2007. Penambangan Batu
Bara Dan Kesehatan Lingkungan. http://komunitassumpit.wordpress.com/2007/06/22/penambangan-batu-bara-dan-kesehatan-lingkungan.
1 Desember 2011.
Asthary, R. 2008. Pertambangan
Batubara : Pro dan Kontra. www.majarimagazine.com/2008/06/pertambangan-batubara-pro-dan-kontra.
25 maret 2010
Kurnia, U., dkk. 2005. Teknologi
Pengendalian Pencemaran Lahan Sawah. www.balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/tanahsawah/tanahsawah9.pdf1
Desember 2011.
Madjid,
A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Bahan Ajar Online : Peran dan Prospek Mikoriza.
Fakultas Pertanian Unsri &
Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya.
Sumatera Selatan. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.
1 Desember 2011.
Madjid,
A dan Novriani. 2009. Peran dan prospek Mikoriza. http://phospateindo.com/peran-dan-prospek-mikoriza.html.
1 Desember 2011.
Santosa, D.A,. 2009. Teknologi
Bioremediasi Pulihkan Lingkungan Tercemar. www.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/22942/2/2009b1403.pdf.
2 Juni 2010
Sofyan, H. 2009. Dampak Lingkungan
Eksploitasi Tambang Batubara.http:///haniyahsofyan.blogspot.com/2009/11/dampak-lingkungan-ekspoitasi-tambang.html.
1 Desember 2011.
Onrizal. 2005. Restorasi Lahan
Terkontaminasi Logam Berat. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-onrizal6.pdf. 1 Desember 2011.
Widyati, E. 2010. Acid Mine
Drainage – Momok Lahan Bekas Tambang. Lingkungan Pasca Tambang.
http://tambang.blogspot.com/2010/05/air-asam-tambang.html. 1 Desember 2011.
Wikipedia. 2010. Bioremediasi –
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/Bioremediasi.
1 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar