PENGENDALIAN
MIKROORGANISME DALAM BAHAN
MAKANAN ASAL
HEWAN[1]
Pendahuluan
Pengendalian mikroorganisme dalam
bahan makanan asal hewan perlu dilakukan apabila kita menginginkan bahan
makanan tersebut tidak cepat rusak atau cepat menjadi busuk, melainkan menjadi
tahan lama. Kerusakan bahan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme terjadi
karena mikroorganisme tersebut berkembangbiak dan bermetabolisme sedemikian
rupa sehingga bahan makanan mengalami perubahan yang menyebabkan kegunaannya
sebagai bahan pangan menjadi terganggu. Proses kerusakan ini dimungkinkan
karena bahan makanan memiliki persyaratan untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Dengan demikian, kerusakan bahan makanan dapat terjadi apabila tersedia
substrat (yaitu bahan makanan tsb.) yang cocok, kemudian bahan makanan itu
telah tercemar oleh mikroorganisme dan ada kesempatan bagi mikroroganisme untuk
berkembangbiak. Usaha pengendalian mikroorganisme dapat dilaksanakan apabila
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangbiakan
mikroorganisme telah diketahui sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut umumnya dibagi ke dalam lima bahasan yaitu a) waktu generasi; b)
faktor intrinsik; c) faktor ekstrinsik; d) faktor proses dan e) faktor
implisit.
Waktu
generasi
Waktu generasi adalah waktu yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali
lipat jumlah semula. Kurva pertumbuhan mikroorganisme terdiri atas empat fase
yaitu fase penyesuaian (lag phase), fase eksponensial atau fase
logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. Pada fase eksponensial terjadi
peningkatan jumlah sel dan digunakan untuk untuk menentukan waktu generasi.
Beberapa contoh waktu generasi pada suhu pertumbuhan yang optimal antara lain
30 menit untuk Bacillus cereus, 20 menit untuk Escherichia c`oli
dan Salmonella, dan 10 menit
untuk Clostridium perfringens.
Faktor
intrinsik
Faktor
intrinsik meliputi pH, aktivitas air (activity of water, aw), kemampuan
mengoksidasi-reduksi (redoxpotential, Eh), kandungan nutrien, bahan
antimikroba dan struktur bahan makanan.
Ukuran keasaman
atau pH adalah log10 konsentrasi ion
hidrogen. Lazimnya bakteri tumbuh pada pH sekitar netral (6,5 – 7,5) sedangkan
kapang dan ragi pada pH 4,0-6,5.
Aktivitas air
(aw)
adalah perbandingan antara tekanan uap larutan dengan tekanan uap air solven
murni pada temperatur yang sama ( aw = p/po ). Ini merupakan jumlah air yang tersedia
untuk pertumbuhan mikrobia dalam pangan dan bukan berarti jumlah total air yang
terkandung dalam bahan makanan sebab adanya adsorpsi pada konstituen tak larut
dan absorpsi oleh konstituen larut (mis. gula, garam). Air murni mempunyai aw 1,0
dan bahan makanan yang sepenuhnya terdehidrasi memiliki aw = 0. Bakteri Gram negatif lebih sensitif
terhadap penurunan aw dibandingkan bakteri lain. Batas aw minimum
untuk multiplikasi sebagian besar bakteri adalah 0,90. Escherichia coli
membutuhkan aw minimum sebesar 0,96, sedangkan Penicillium 0,81.
Meskipun demikian aw minimum untuk Staphylococcus aureus adalah 0,85.
Kemampuan
mengoksidasi-reduksi (redoxpotential, Eh) adalah perbandingan total daya
mengoksidasi (menerima elektron) dengan daya mereduksi (memberi elektron). Eh
dalam pangan bergantung pada pH, kandungan substansi yang mereduksi, tekanan
partial oksigen (pO2) dan kemampuan metabolisasi oksigen. Potensi Eh diukur
dalam milivolts (mV). Dalam keadaan teroksidasi ukuran mV makin positif,
sedangkan dalam keadaan tereduksi akan semakin negatif. Berdasarkan Eh,
mikroorganisme dibagi menjadi aerob, anaerob, fakultatif anaerob dan
mikroaerofilik. Mikroorganisme aerob memerlukan keadaan Eh positif,
mikroorganisme anaerob memerlukan Eh negatif, mikroorganisme fakultatif anaerob
memerlukan keadaan Eh positif atau negatif dan mikroorganisme mikroaerofilik
memerlukan Eh sedikit tereduksi.
Pertumbuhan
mikroorganisme memerlukan air, energi, nitrogen, vitamin dan faktor
pertumbuhan, mineral. Air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme
ditentukan oleh aw bahan makanan.
Sebagai sumber energi, mikroorganisme memanfaatkan karbohidrat, alkohol dan
asam amino yang terdapat dalam bahan makanan. Faktor pertumbuhan yang
diperlukan adalah asam amino, purin dan pirimidin, serta vitamin. Salmonella
typhi memerlukan triptofan untuk pertumbuhannya, sedangkan Staphylococcus
aureus memerlukan arginin, sistein dan fenilalanin.
Beberapa unsur
dalam bahan makanan mempunyai sifat antimikroba. Susu sapi mengandung
laktoferin, konglutinin, lisozim, laktenin dan sistem laktoperoksidase. Bahan
antimikroba dalam telur adalah lisozim, konalbumin, ovomukoid, avidin. Sistem
laktoperoksidase terdiri dari laktoperoksidase, tiosianat dan peroksidase.
Ketiga komponen ini diperlukan untuk efek antimikroba. Susu kambing mengandung
lebih banyak lisozim dibandingkan susu sapi. Meskipun demikian kandungan
lisozim susu lebih rendah bila dibandingkan dengan putih telur. Laktoferin
adalah protein penangkap Fe dalam susu dan dapat disamakan dengan konalbumin
putih telur. Lisozim yang terdapat dalam telur menyebabkan lisis lapisan
peptidoglikan dinding sel bakteri. Kandung lisozim dalam telur adalah 3,5 %.
Struktur bahan makanan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme misalnya lemak karkas dan kulit pada
karkas unggas dan karkas babi dapat melindungi daging dari kontaminasi
mikroorganisme. Kerabang telur yang mempunyai pori-pori sebesar 25-40 µm dapat
mempersulit masuknya mikroorganisne ke dalam telur walau tidak dapat mencegah
tetap masuknya mikroorganisme. Mikroorganisme akan ditahan oleh lapisan membran
dalam yang mencegah masuknya mikroorganisme ke albumen. Daging giling atau
daging yang sudah dipotong menjadi bagian lebih kecil akan lebih memberi
kemudahan bagi mikroorganisme untuk berkembang biak dibandingkan dengan pada
daging karkas.
Faktor
ekstrinsik
Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme adalah suhu penyimpanan dan faktor luar lainnya yang pada
prinsipnya berhubungan dengan pengaruh atmosferik seperti kelembaban, tekanan
gas/keberadaan gas, juga cahaya dan pengaruh sinar ultraviolet.
Berdasarkan suhu optimumnya, mikroorganisme
dibagi menjadi psikrofil dengan suhu optimum kurang dari + 20 °C, mesofil (+20°
s/d + 40 °C) dan termofil (lebih dari +40 °C). Pada suhu minimum terjadi
perubahan membran sel sehingga tidak terjadi transpor zat hara. Sebaliknya pada
suhu maksimum terjadi denaturasi enzim, kerusakan protein dan lipida pada
membran sel yang menyebabkan lisisnya mikroorganisme. Mikroorganisme patogen
biasanya termasuk ke dalam kelompok mesofil. Pengaruh suhu rendah pada mesofil
adalah inaktivasi dan perubahan struktur protein permease. Kapang mempunyai
kisaran pertumbuhan yang lebih luas dibandingkan bakteri, sedangkan ragi mampu
tubuh pada kisaran psikrofil dan mesofil. Mikroorganisme juga dapat
diklasifikasikan menurut resistensinya terhadap temperatur yang tidak
menguntungkan yaitu psikrotrof (tumbuh pada suhu kurang dari + 7 °C) dan
termotrof (tumbuh pada suhu lebih dari + 55 °C).
Kelembaban lingkungan (relative
humidity, RH) penting bagi aw bahan makanan dan pertumbuhan mikroorganisme
pada permukaan bahan makanan. Ruang penyimpanan yang memiliki RH rendah akan
menyebabkan bahan makanan yang tidak dikemas mengalami kekeringan pada
permukaannya dan dengan demikian mengubah nilai aktivitas airnya.Produk bahan
makanan yang kering ini bila dibawa ke lingkungan yang lembab (RH tinggi) akan
menyerap kelembaban sehingga permukaannya dapat ditumbuhi jamur. Hal yang sama
akan terjadi bila bahan makanan yang telah didinginkan dibawa ke lingkungan
yang lebih hangat. Hal ini akan menyebabkan kondensasi air di bagian permukaannya.
Proses ini penting untuk diperhatikan pada pengepakan produk yang dapat
membusuk, karena biasanya ruang pengepakan lebih hangat dibandingkan dengan
ruang pendingin, sehingga akan terbentuk lapisan tipis air kondensasi. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan aktivitas air yang pada gilirannya dapat
mempermudah pertumbuhan mikroorganisme.
Penyimpanan bahan makanan di ruang
terbuka meningkatkan kadar CO2 sampai 10 % yang dapat
dicapai dengan menambahkan es kering (CO2)
padat. Penghambatan oleh CO2 meningkat sejalan dengan
menurunnya suhu karena solubilitas CO2
meningkat pada suhu rendah. Bakteri Gram
negatif lebih rentan terhadap CO2 dibandingkan bakteri Gram
positif. Pseudomonas paling rentan sedangkan bakteri asam laktat serta bakteri
anaerob paling tahan.
Adanya cahaya dan sinar ultra violet
dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan toxin yang
dihasilkannya, misalnya pada Aspergillus ochraceus.
Faktor proses
Semua proses teknologi pengolahan
bahan makanan mengubah lingkungan mikro bahan makanan tersebut. Proses tersebut
dapat berupa pemanasan, pengeringan, modifikasi pH, penggaraman, curing,
pengasapan, iradiasi, tekanan tinggi, pemakaian medan listrik dan pemberian
bahan imbuhan pangan.
Faktor implisit
Faktor lain yang berperan adalah
faktor implisit yaitu adanya sinergisme atau antagonisme di antara
mikroorganisme yang ada dalam “lingkungan” bahan makanan. Ketika mikroorganisme
tumbuh pada bahan makanan dia akan bersaing untuk memperoleh ruang dan nutrien.
Dengan demikian akan terjadi interaksi di antara mikroorganisme yang berbeda.
Interaksi ini dapat saling mendukung maupun saling menghambat (terjadi
sinergisme atau antagonisme).
Pengendalian
mikroorganisme dalam bahan makanan
Pengendalian mikroorganisme dalam
bahan makanan pada prinsipnya bertujuan untuk membuat bahan makanan menjadi
tahan lama, atau dengan perkataan lain bertujuan untuk pengawetan bahan
makanan. Pengendalian mikroorganisme berarti mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat berarti membunuh atau menghambat pertumbuhan itu
sendiri. Biasanya tindakan ini dilakukan dengan perlakuan fisik atau perlakuan
kimia. Perlakuan fisik dapat dilakukan dengan cara perlakuan termal, perlakuan
pengeringan dan perlakuan penyinaran (iradiasi). Perlakuan termal terdiri dari
suhu rendah, yaitu pendinginan dan pembekuan, dan suhu tinggi/pemanasan yang
dapat berupa pasteurisasi atau sterilisasi. Perlakuan pengeringan dapat
dilakukan dengan cara pengeringan atau cara pengeringan beku. Perlakuan
penyinaran dapat dilakukan dengan sinar ultraviolet dan ionisasi (sinar
röntgen, sinar gamma, sinar elektron). Perlakuan kimia dapat dilakukan dengan
cara penggaraman, curing, pengasaman, pengasapan dan pemberian bahan pengawet.
Perlakuan
termal
Suhu merupakan faktor ekstrinsik yang
penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Dibandingkan dengan
mahluk tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat
lebar (kira-kira – 15 s/d 90 °C). Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan
berhenti, sedangkan pada suhu tinggi organisme ini akan mati. Pada kedua
situasi di atas, terkait proses terjadinya metabolisme yang menyebabkan
terjadinya kerusakan bahan makanan. Karena proses enzimatik juga bergantung
pada suhu, maka perlakuan dengan suhu ekstrim akan menyebabkan pengawetan
hampir seluruh bahan makanan.
Suhu rendah
Suhu rendah tidak membunuh
mikroorganisme tetapi menghambat perkembangbiakannya. Dengan demikian
pertumbuhan mikroorganisme semakin berkurang seiring dengan semakin rendahnya
suhu, dan akhirnya di bawah “suhu pertumbuhan minimum” perkembangbiakannya akan
berhenti.
Tabel
1. Suhu pertumbuhan minimal beberapa mikroorganisme (Sinell, 1992)
|
Genus atau spesies
|
Suhu pertumbuhan minimum
(°C)
|
Patogen atau
potensial pathogen
|
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus
S. aureus pembentuk
enterotoxin
Vibrio
parahaemolyticus
E.coli
enteropatogenik
Clostridium
botulinum tipe A
Pseudomonas
aeruginosa
Salmonella sp
Clostridium
perfringens
Clostridium
botulinum tipe E dan beberapa strain tipe B dan F
Fusarium,
Penicillium
|
10
5 – 13
10 - 19
5 -
8
8 – 10
10
9
6
5
3,5 – 5
-18
|
Mikroorganisme
index atau indicator
|
E. coli
Klebsiella sp,
Enterobacter sp.
Streptococcus faecalis
|
8 – 10
±0
±0
|
Mikroorganisme
penyebab busuk
|
Bacillus subtilis
Streptococcus faecium
Lactobacillus sp
Pseudomonas fluorescens
Ragi
|
12
±0 – 3
1
-3
-12
|
Suhu pertumbuhan minimum yang tertera
dalam Tabel 1 hanyalah angka perkiraan dan secara eksperimental hanya berlaku
untuk beberapa strain dari spesies tertentu dan tidak dapat berlaku umum. Pada
penyimpanan bahan makanan dalam suhu beku, proses pembusukan oleh
mikroorganisme masih dapat terjadi walau sangat diperlambat. Proses kerusakan
baru dapat dihentikan pada suhu di bawah -18°C.
Suhu minimal hanya berlaku bila dalam
keadaan lingkungan yang optimal. Adanya perubahan sedikit saja pada nilai aw atau pH telah dapat menyebabkan peningkatan
suhu pertumbuhan secara drastis. Contohnya adalah Enterobacter aerogenes
yang memiliki suhu pertumbuhan minimal sebesar 5 °C apabila angka aktivitas airnya optimal yaitu
di atas 0,97. Pada nilai aw sebesar 0,955 pertumbuhannya berhenti pada
suhu sekitar 20 °C , dan pada aw 0,950 pertumbuhan berhenti pada suhu 30 . Pada
uji mikroorganisme yang sama, terjadi peningkatan suhu pertumbuhan minimal
menjadi 15 °C ketika terjadi penurunan pH dari pH optimal 7 menjadi 3,9. Pada
beberapa mikroorganisme, suhu rendah dapat pula menyebabkan aktivitas enzimatik
menjadi intensif. Pseudomonas lebih banyak menghasilkan lipase dan
proteinase pada suhu di bawah suhu optimum pertumbuhannya. Hal ini dapat
menjelaskan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa perubahan akibat kerja
mikroorganisme dalam bahan makanan sering terjadi walau jumlah mikroorganisme
tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan. Pada fase eksponensial, mikroorganisme
sangat peka terhadap suhu rendah, khususnya Enterobacter dan Pseudomonas,
sedangkan bakteri Gram positif nampaknya lebih tahan. Pembekuan sedikit banyak
membuat kerusakan mikroorganisme. Kerusakan ini dapat bersifat reversibel
maupun menyebabkan kematian sel bakteri. Kerusakan ini bergantung pada jenis
dan kecepatan proses pembekuan. Pembekuan cepat dengan suhu sangat rendah tidak
atau hanya sedikit membuat kerusakan sel bakteri, sedangkan pembekuan lambat
dengan suhu pembekuan relatif tinggi (s/d –10 °C) dapat membuat kerusakan hebat
pada sel bakteri. Hal ini didukung pada kenyataan bahwa laju kematian bakteri
meningkat dengan semakin meningkatnya suhu mendekati titik nol. Dalam suatu uji
kultur diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 220 hari dalam suhu –10 °C
hanya tinggal 2,5 % sel bakteri yang masih hidup, sedangkan yang disimpan pada
suhu –20 °C masih ada 50 % sel bakteri yang hidup. Pada suhu –4 s/d – 10 °C
angka kematian sangat tinggi. Meskipun demikian hal ini dalam prakteknya tidak
dapat digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme pada bahan makanan yang
dibekukan karena pada suhu ini mikroorganisme psikrofil tertentu masih dapat
berkembangbiak dan juga perombakan kimiawi masih berjalan sehingga mempengaruhi
kualitas bahan makanan. Pengetahuan mengenai proses ini penting karena alasan
berikut: Mikroorganisme yang subletal rusak sulit ditemukan pada pemeriksaan
kultur bakteriologik. Setelah bahan makanan beku ini dihangatkan dan pada
kondisi yang menguntungkan, bakteri ini dapat kembali beraktivitas sehingga
seperti halnya pada kasus Salmonella, dapat menjadi ancaman kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, pada pemeriksaan mikrobiologik bahan makanan yang dibekukan
(demikian pula pada produk yang dikeringkan atau dipanaskan), hendaknya memakai
metode dan media yang cocok untuk dapat menghidupkan kembali mikroorganisme
yang rusak tersebut.
Tabel 2. Nilai pH dan aw sebagai
petunjuk kemampuan simpan bahan makanan (Sinell, 1992)
Kemampuan simpan
|
Nilai pH dan aw
|
Suhu penyimpanan yang dibutuhkan
|
Dapat disimpan
|
pH < 5,2 dan aw < 0,95
atau
pH < 5,0
atau
aw < 0,91
|
Tidak diperlukan pendinginan
|
Dapat busuk
|
pH £ 5,2 ³ 5,0
atau
aw £ 0,95 ³ 0,91
|
Maximum 10 ºC
|
Mudah membusuk
|
pH > 5,2 dan aw > 0,95
|
Maximum 5 ºC
|
Suhu tinggi
Pengendalian mikroorganisme melalui
perlakuan suhu tinggi pada umumnya dilakukan dengan pasteurisasi atau
sterilisasi. Pasteurisasi adalah pemanasan dengan suhu di bawah 100 °C dan
tidak akan menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim secara sempurna. Dengan
demikian produk yang dipasteurisasi tidak akan bertahan lama bila tidak
disertai perlakuan pendinginan atau faktor proses lainnya seperti perubahan aw dan pH. Sterilisasi adalah pemanasan yang
dapat menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim sehingga produk dapat tahan
lama.
Perlakuan pengeringan
Pengeringan
adalah identik dengan pengurangan aktivitas air. Pada aw kurang dari 0,70 pertumbuhan agen penyebab
infeksi dan intoksikasi tidak perlu dikuatirkan lagi. Pada produk yang
dikeringkan, mikroorganisme berada dalam keadaan “tidur” atau dengan perkataan
lain berada dalam fase lag yang diperpanjang. Bila terjadi rekonstruksi
(penyerapan air kembali) maka flora yang ada dalam bahan makanan dapat kembali
beraktivitas. Secara umum pengeringan dibedakan menjadi pengeringan di bawah
tekanan udara dan pengeringan vakum. Proses yang khusus adalah kombinasi antara
pembekuan dan penghilangan air dengan atau tanpa vakum. Pengeringan dengan
udara dilakukan dalam udara yang bergerak, dalam ruang pengeringan yang
dipanaskan, dll.
Perlakuan
penyinaran
Dosis
penyinaran diukur dengan satuan Gray (Gy). Penyinaran rendah bila dosisnya
adalah kurang dari 1 kGy, medium bila < 1-10 kGy, dan tinggi bila lebih dari
10 kGy. Lingkup proses penyinaran (iradiasi) adalah untuk desinfeksi,
pemanjangan shelf-life, dekontaminasi dan perbaikan kualitas produk.
Keuntungan yang diperoleh adalah pengurangan seminimal mungkin bahan makanan
yang hilang akibat proses pengawetan, dan penghematan energi serta keuntungan
lainnya. Daging sapi yang mendapat perlakuan iradiasi akan menyebabkan
pertumbuhan Psedomonas dan Enterobacteriaceae sangat terhambat
tanpa menyebabkan perubahan organoleptik. Shelf life daging mentah yang
dikemas vakum dapat diperpanjang. Pada daging babi, iradiasi dengan dosis
antara 0,3 – 1,0 kGy dapat membuat inaktivasi Trichinella spiralis.
Perlakuan kimia
Perlakuan
yang biasa dilakukan antara lain dengan pemberian garam. Penggaraman ini
bertujuan untuk menurunkan aktivitas air dan garam sendiri tidak memiliki
pengaruh antimikroba secara langsung. Perlakuan yang lain adalah dengan curing,
yaitu perlakuan dengan menggunakan garam dapur dan garam nitrit (natrium nitrit
atau kalium nitrit). Perlakuan ini dapat menghambat pertumbuhan dan produksi
toxin oleh Clostridium botulinum. Efek utamanya adalah menentukan
panjangnya fase lag. Faktor yang mempengaruhi efektivitas nitrit antara lain
pH, oksigen, komponen pangan lainnya (konsentrasi garam), pemanasan dan
iradiasi. Pengasapan juga merupakan salah satu cara pengendalian mikroorganisme
dalam bahan makanan dengan menggunakan metode pengasapan dingin, pengasapan
hangat dan pengasapan panas. Pengasaman dan penggunaan bahan pengawet juga
lazim dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak merugikan kesehatan
selama diberikan dengan dosis yang tepat untuk tujuan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
Daftar pustaka
Prändl,
O., Fischer, A.,Schmidhofer T., Sinell, H.J., 1988. Handbuch der
Lebensmitteltechnologie. Fleisch: Technologie und Hygiene der Gewinnung und
Verarbeitung. Ulmer, Stuttgart.
Prescott,
L.M., Harley, J.P., Klein, D.A. , 1999. Microbiology. 4th ed. WCB
McGraw-Hill, Boston.
Sinell,
H.J., 1992. Einführung in die Lebensmittelhygiene.3. Auflage. Verlag Paul
Parey, Berlin, Hamburg
[1] Disampaikan pada Pelatihan Pengawas Kesmavet yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian di
Cisarua Bogor tanggal 18 – 25 Agustus 2003
0 komentar:
Posting Komentar