Selasa, 27 Desember 2011

pengantar toksikologi


1. Pengantar
Toksikologi perkembangan adalah bagian dari toksikologi, yaitu ilmu yang
mempelajari seluk-beluk racun, terutama pengaruhnya terhadap makhluk hidup.
Sesuai dengan namanya toksikologi perkembangan menitikberatkan kajian pada
pengaruh agensia toksis terhadap makhluk hidup yang sedang dalam stadium
perkembangan. Istilah agensia toksis digunakan di sini karena kata racun lebih
menghunjuk pada senyawa kimiawi, padahal di dalam kenyataannya toksikologi
perkembangan tidak membatasi diri pada kajian efek senyawa kimiawi saja tetapi
juga mengkaji pengaruh agensia lain seperti gelombang elektromagnetik, bunyi,
cahaya, mikroorganisma terhadap perkembangan embrio. Sebagai sebuah ilmu,
toksikologi perkembangan melakukan kajian teoritis tentang mekanisme kerja
agensia toksik, respon tubuh organisme terhadap agensia toksik tadi pada berbagai
tingkatan (subseluler, seluler, organ, maupun individu), modulasi efek oleh berbagai
faktor seperti tingkat perkembangan, dosis, organ sasaran dan sebagainya. Seiring
dengan itu toksikologi perkembangan juga memiliki aspek praktis karena dengan
berkembangnya ilmu ini telah terbuka cara-cara untuk menguji status
keteratogenikan suatu agensia.
Pengujian keteratogenikan suatu agensia melalui uji toksikologi perkembangan
semakin penting saat ini ketika lingkungan hidup kita sehari-hari dimasuki oleh
agensia-agensia baru berpotensi toksis yang jumlah dan macamnya terus melimpah.
Agensia baru itu dapat berupa obat-obatan, bahan-bahan aditif untuk makanan,
bahan pencemar di lingkungan industri, pestisida, logam-logam berat, pelarutpelarut
organik, gelombang elektromagnetik, bunyi, temperatur ekstrim, dan lainlain.
Apabila embrio yang sedang berkembang terpajan pada agensia tadi ada
peluang proses perkembangannya menjadi tergganggu.
Perkembangan adalah proses yang dinamis. Ciri pokok perkembangan justeru
terletak pada gejala perubahan yang terus-menerus dialaminya. Pada hewan
mamalia misalnya, perkembangan dimulai dari sel tunggal zigot hasil fertilisasi yang
terus membelah menghasilkan struktur berupa bola berongga multiseluler yang
disebut blastula. Setelah blastula terbentuk terjadi dinamika perpindahan sel
sedemikan sehingga terbentuk embrio dengan 3 lapis benih (ektoderm, mesoderm
dan endoderm). Pada tingkat sel saat itu telah terjadi diferensiasi. Sel-sel yang
memiliki potensi genetis sama, karena berasal dari mitosis sel zigot yang sama,
membuat komitmen untuk secara spesifik hanya mengekspresikan gen tertentu saja.
Pola bentuk tubuh juga pada saat ini telah tegas ditentukan (pattern formation)
antara kiri-kanan, depan-belakang, dan craial-caudal. Dari ketiga lapis benih itu
kemudian berkembang organ-organ tubuh (melalui proses morfogenesis). Proses
perubahan ini sungguh menakjubkan, karena dari satu sel saja dapat berkembang
satu individu dengan presisi yang sangat akurat. Tiap sel hasil pembelahan zigot itu
mengambil tempat dan waktu yang tepat (presisi spatiotemporal) untuk
mengekspresikan DNA tertentu dan bekerja bersama-sama dengan sel lain menuju
terwujudnya individu. Tetapi justeru karena itulah embrio yang sedang berkembang
adalah entitas yang sangat rentan terhadap gangguan. Gangguan kecil yang tidak
dapat ditoleransi pada salah satu tahapan perkembangan dapat menjelma menjadi
kecacatan / malformasi saat kelahiran.
2002 digitized by USU digital library 2
Perkembangan embrio mamalia dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap
praimplantasi, tahap organogenesis dan tahap fetogenesis. Dari segi toksikologi
perkembagan ketiganya memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Tahap praimplantasi
dimulai dari fertilisasi, pembelahan awal (cleavage), blastulasi hingga gastrulasi
awal. Karena pada tahap ini diferensiasi sel belum lanjut, jika satu atau sekelompok
sel rusak oleh gangguan agensia toksis masih memungkinkan bagi sel-sel sehat di
sekitarnya membelah dan menggantikan posisi dan peran sel rusak tadi. Dengan
demikian embrio pulih dan perkembangan dapat berlanjut tanpa ada efek gangguan
yang menetap. Sebaliknya jika embrio tidak dapat mentoleransi kerusakan itu maka
embrio tidak dapat melanjutkan perkembangannya dan mati. Oleh karena itu efek
gangguan agensia toksis pada embrio pada tahap praimplantasi tidak menyebabkan
kelainan perkembangan. Berdeda dengan itu, jika efek suatu agensia toksis
menimpa embrio pada tahap organogenesis, yaitu ketika pembentukan organ-organ
sedang giat-giatnya berlangsung, maka perkembangan organ dapat terganggu dan
mungkin terwujud menjadi kecacatan yang dapat teramati saat lahir. Selanjutnya
apabila efek agensia toksis menimpa embrio ketika sebagian besar organ-organ telah
terbentuk (pada tahap ini embrio disebut fetus) dan fetus tinggal melanjutkan
pertumbuhan organ-organ itu, maka manifestasi gangguan seperti ini jarang
terwujud menjadi kecacatan melainkan berupa hambatan pertubuhan dan gangguan
fungsi. Dengan demikian terdapat 4 kelompok wujud gangguan perkembangan
embrio, yaitu kematian, kecacatan, hambatan pertumbuhan dan gangguan
fungsi.
2. Prosedur Uji Toksikologi Perkembangan
Terdapat beberapa macam protokol uji toksikologi perkembangan yang
dikembangkan oleh beberapa lembaga pemerintahan dan badan-badan internasional.
Sepanjang yang penulis ketahui hingga saat ini belum ada prosedur pengujan
toksikologi perkembangan yang baku di Indonesia. Yang ada adalah prosedurprosedur
pengujian yang dimiliki dan dikembangkan oleh laboratorium di beberapa
universitas. Tulisan ini memuat prinsip-prinsip dasar yang berlaku umum dalam
melakukan pengujian toksikologi perkembangan. Prosedur pengujian dapat dibagi
menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan hewan uji, pemberian perlakuan,
pengamatan dan pelaporan. Pada bagian ini hanya akan diuraikan 3 tahapan
kegiatan yang pertama.
A. Pemilihan Hewan Uji.
Terdapat paling tidak 5 hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu
species dan strain hewan yang akan digunakan, usia, jenis kelamin dan jumlahnya.
Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci. Untuk
unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan teknik laboratorium
yang ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak binatang telah membuka
kemungkinan penggunaan hanya organ, jaringan atau sel saja menggantikan hewan
uji (kultur organ atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting
terutama dalam upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di
Indonesa hewan uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu
tulisan ini selanjutnya akan membicarakan pengujian dengan menggunakan hewan
uji tersebut.
Hewan betina yang digunaan adalah betina dara sedangkan untuk jantan dipilih
pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan di malam hari
dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3 betina dalam satu kandang.
2002 digitized by USU digital library 3
Jika keesokan harinya ditemukan adanya sumbat vagina (vaginal plug) atau
adanya sperma di vagina yang dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan
vagina, maka itu pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut
dtentukan sebagai hari ke nol kebuntingan.
Jumlah hewan uji yang digunakan palig tidak sebanyak 20 ekor betina
bunting untuk tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan biasanya terdiri
atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka jumlah hewan bunting yang
dibutuhkan adalah 80 ekor.
B. Pemberian Perlakuan.
Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan sebaiknya
tidak melampaui 1000 mg/kg berat badan per hari dengan pemberian per oral atau
subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan dengan besaran paparan yang
mungkin diterima dari lingkungan. Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka
LD-50 dan 2 kelompok dosis berikutnya ditata dengan interval sama di bawah dosis
tertinggi tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol). Kelompok
kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum digunakan adalah apabila
agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka kepada kelompok kontrol diberikan
pelarut saja dengan cara pemberian yang persis sama dengan cara pemberian pada
kelompok perlakuan. Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang sudah
dikenali memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk menilai
kepekaan strain yang digunakan.
Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah permberian per oral
(pencekokan). Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus, seperti inhalasi,
subkutan, intrapertoneal atau intramuskuler. Pertimbangan utama dalam pemilihan
cara-cara itu adalah kemiripannya dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam
tubuh.
Durasi perlakuan disesuaikan degan tujuan pengujian. Untuk pengujian
toksisitas perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa
kebuntingan.Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada titik waktu
spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia terhadap perkembangan
organ tertentu. Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam
beberapa hari saja, yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga hari ke
15).
C. Pengamatan.
Meskipun pengujian ini disebut uj tokskologi perkembangan ruang lingkup
pengamatan tidaklah terbatas pada embrio yang sedang berkembang itu saja
melainkan juga mencakup beberapa bagian pengamatan terhadap induk.
Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal
khusus seperti adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat badan
ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan selain sebagai petunjuk efek
toksik terhadap induk juga digunakan untuk menentukan jumlah pemberian
perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan coba dipelihara dengan baik selama
kebuntingan dan selanjutnya dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke-
20/21; mencit hari ke-19). Betina tidak dibiarkan sampai melahirkan karena jika itu
terjadi ia akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah caesar
dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area bukaan
genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka dan organ dalam
tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang bersama-sama dengan embrio di
dalamnya. Selanjutnya uterus ditempatkan di dalam cairan fisiologis, lalu dibelah
dan embrionya dilepas. Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang
2002 digitized by USU digital library 4
berkembang penuh dan merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang
berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak merespon
sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang menunjukkan adanya ciri-ciri
fetus tetapi mengalami autolisis digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada
tingkat lanjut (late resorption); implantasi yang tidak menunjukkan adanya
karakteristik fetus digolongkan pada fetus yang mengalami resorpsi dini (early
resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea dihitung.
Jumlah corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah implantasi karena
corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah menjadi badan
hormonal yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan. Kehilangan sebelum
implantasi dapat dihitung berdasarkan selisih antara jumlah corpora lutea dengan
jumlah implantasi.
Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral. Kelenjar
timus diamati ukuran, warna dan adanya tanda-tanda hemoragi. Pulmo diamati
ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian juga hepar diamati ukuran, warna,
tekstur dan jumlah lobusnya. Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang curvatura
besar dan permukaan mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna
dan kelainan yang mungkin terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah untuk
mengamati struktur internalnya. Tiap-tiap kelainan dicatat dan sedapat mungkin
didokumentasikan dengan fotografi dan jaringan yang mengalami kelainan tersebut
difiksasi dengan formalin atau larutan Bouin dan diproses melalui metode parafin
untuk pembuatan sediaan bagi pengamatan histologis.
Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan. Penimbangan
hendaknya dilakukan ketika fetus masih segar (segera setelah uterus dibuka,
sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi dimulai dari daerah kepala.
Pertama-tama diperhatikan bentuk dan ukuran kepala serta adanya tanda-tanda
gangguan penutupan (closure defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata
(masih tertutup), 2 nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati
ukuran, betuk dan adanya gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk mengamati
dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit mulut (cleft palate). Kemudian
aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah ada closure defect, dan dilanjutkan
dengan pengamatan tungkai. Pada tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan
arah rotasi / fleksi bahu, siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5
depan dan 5 belakang) dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau
adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati keberadaan, ukuran dan
pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan anus dengan
genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak tersebut sangat dekat
pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya kira-kira setengah bagian dari
jumlah fetus yang diperoleh difiksasi dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa
hari dieviserasi dan dikuliti. Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian fetus
diwarnai dengan Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan
dalam gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen tulang
(merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan rangka meliputi
adanya hambatan atau percepatan penulangan, kelainan bentuk dan jumlah
komponen rangka. Rangka diamati mulai dari cranium, sternum, columna
vertebralis, os pectoralis, os pelvis, tulang-tulang tungkai dan terutama jemari.
Jumlah komponen tulang telapak dan jemari yang telah mengalami penulangan
dihitung. Kelainan struktur komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan
osifikasi, penambahan atau pengurangan jumlah costae, centrum vertebra berbentuk
kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi vertebra, tungkai pekuk dan
lain-lain.
2002 digitized by USU digital library 5
Pustaka
Ngatidjan. 1991. Petunjuk Laboratorium. Metode Laboratorium dalam
Toksikologi. UGM Yogyakarta
Tuchmann-Duplessis. 1975. Drug Effects on Fetus. ADIS Press, New York.
U.S. Envronmental Protection Agency. 1982. Guideline 83-3:
Teratogenicity Study. Pesticides Assesment Guidelines, Subdivision F.
Hazard Evaluation: Human and Domestic Animals. Office of
Pesticides and Toxic Substances, Washington, DC.
U.S. Envronmental Protection Agency. 1991. Guideline for Developmental
Toxicity Risk Assesment. Federal Register 56:63798-63826.
.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Mega's Blogg and Powered by Blogger.