BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makanan basi atau
terkontaminasi tak asing lagi ada campur tangan mikroorganisme di dalamnya.
Banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencegahnya, salah satunya dengan
pengawetan. Pengawetan makanan yang umumnya digunakan adalah memasak atau memanaskan makanan
tersebut agar mikroorganisme yang ada di dalamnya mati, selain itu dengan pemberian garam dengan konsentrasi tinggi
misalnya saja pada ikan atau daging, penggunaan
radiasi juga efektif untuk beberapa jenis makanan. Metode pengawetan
makanan yang tidak mematikan mikroorganisme tetapi mencegah pertumbuhannya
mencakup pembekuan dan pengeringan.
Makanan basi sebenarnya
tidak menjadi masalah bagi kita jika tidak dikonsumsi, atau ada juga sebagian
dari kita tidak sadar bahwa makanan itu sudah tidak layak lagi dimakan tapi
tetap dimakan, akhirnya menyebabkan timbul berbagai macam penyakit, diare
contohnya. Bahkan tidak jarang banyak berakibat fatal alias kematian.
Demi menjaga
kesehatan,kita harus teliti benar dalam soal makanan. Makanan jajanan atau
pinggir jalan sebaiknya tidak dikonsumsi karena selain higienisitas makanan
tidak terjamin juga banyak menggunakan bahan kimia secara berlebihan. Rasanya
kita perlu tahu apa saja yang menyebabkan makanan menjadi basi/rusak, lalu
bagaimana pengendalian serta pencegahannya jika sudah terjadi.
Berbagai penyakit atau infeksi yang
berbeda-beda mungkin terjadi karena memakan makanan yang terkontaminasi dengan
organisme patogen. Hal ini khususnya benar
untuk infeksi usus seperti E. coli enterotoksigen, kolera, disentri dan tifus.
Tetapi penyakit ini disebabkan oleh
patogen spesifik yang tidak yang tidak akan dijumpai pada orang yang sehat
kecuali, barangkali, untuk pembawa sewaktu-waktu. Penyakit-penyakit makanan
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya harus di anggap ada.
Penyakit-penyakit ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Infeksi makanan terjadi karena memakan makanan yang
mengandung organisme hidup yang mampu sembuh atau bersporulasi dalam usus, yang
menimbulkan penyakit. Organisme yang menimbulkan infeksi makanan meliputi C. perfringens,
Vibrio parahaemolyticus dan sejumlah jenis salmonella
yang berlainan. Sebaliknya,peracunan makanan tidak disebabkan oleh menelan organisme
hidup melainkan dengan kemasukan toksin atau substansi beracun yang di sekresi
ke dalam makanan. Dalam hal yang terakhir, organisme ini mungkin mati setelah
pembentukan toksin dalam makanan, tetapi apabila toksin itu sendiri tidak
dimusnahkan, peracunan makanan yang hebat dapat terjadi
dari memakan makanan itu. Organisme yang menyebabkan peracunan makanan mencakup
S. aureus,
C. botulinum, dan B. cereus.
Tipe
peracunan makanan yang penting yang telah dipertelakan hanya selama beberapa
dasawarsa terakhir disebabkan oleh Clostridium
perfringens.
B.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah ada, maka penulisan makalah
ini bertujuan untuk:
1.
Untuk
mengetahui gambaran tentang peracunan makanan oleh Clostridium perfringens.
2.
Untuk
mengetahui gejala keracunan makanan oleh Clostridium perfringens.
3.
Untuk
mengetahui cara penularan penyakit yang disebabkan oleh Clostridium perfringens.
4.
Untuk
mengetahui penanganan yang dilakukan terhadap keracunan makanan oleh Clostridium perfringens.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peracunan
Makanan oleh Clostridium perfringens
Clostridium
perfringens adalah spesies bakteri gram-positif
yang dapat membentuk spora dan menyebabkan keracunan makanan. Beberapa karakteristik dari
bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian besar memiliki kapsul polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C. perfringens dapat ditemukan pada makanan mentah, terutama daging dan ayam karena kontaminasi tanah atau tinja. Bakteri ini dapat hidup pada suhu 15-55 °C, dengan suhu optimum antara 43-47 °C. Clostridium
perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3 dan memiliki pH optimum pada kisaran 6-7. Sebagian C. perfringens dapat
menghasilkan enterotoksin
pada saat terjadi sporulasi dalam usus manusia. Spesies bakteri ini dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan eksotoksin yang dihasilkan, yaitu A, B, C, D, dan E. Sebagian besar kasus
keracunan makanan karena C. perfringens disebabkan oleh galur tipe A, dan ada pula yang disebbkan oleh galur tipe C. Gastroenteritis adalah salah satu penyakit yang disebabkan
oleh Clostridium perfringens.
Gastroenteritis ini disebabkan karena memakan makanan yang tercemar oleh toksin
(racun) yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium perfringens.
C. Perfringens adalah salah satu
penyebab utama infeksi luka yang berakibat gangren gas. Seperti banyak
klostridia, organisme ini memproduksi berbagai ragam eksotoksin, akan tetapi,
galur peracunan makanan C. Perfringens kelihatannya hanya
memproduksi sedikit toksin alfe, sehingga mekanisme yang digunakannya untuk
menimbulkan gajala-gejalanya tidak sepenuhnya diketahui. Tipe peracunan makanan
seperti ini memerlukan masuknya jumlah besar organisme C.
Perfringens yang berdaya hidup. Organisme ini akan membentuk spora
apabila sampai di dalam usus, dan hanya pada waktu pembentukan endospora dalam
usus itulah toksin peracunan makanan diproduksi.
Urutan kejadian yang
khas yang menjurus ke peracunan makanan adalah penyiapan masakan daging yang
dimakan 1 atau 2 hari kemudian. Karena Clostridium perfringens membentuk
endospora yang relative panas cara memasak biasa sering tidak memusnahkan MO
ini. Setelah makanan dingin, spora bersemai dan sel-sel vegetatif yang terjadi
berkembang biak.
Klasifikasi dari bakteri
Clostridium perfringens:
Kingdom :
Bacteria
Division :
Firmicutes
Class :
Clostridia
Order :
Clostridiales
Family :
Clostridiaceae
Genus :
Clostridium
Species :
perfringens
Binomial :
Clostridium perfringens
Clostridium
perfringens secara
luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus
manusia dan hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan
yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan
penyakit diare. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui
tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui
proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan
yang dipotong. Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan
pembentuk spora lainnya. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi
di antara strain. Secara garis besar spora dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15 sampai 145 menit) dan spora
yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5 menit). Spora yang tahan panas
secara umum membutuhkan heat shock 75-100 derajat Celsius selama 5 sampai 20
menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk sel vegetatif).
Keracunan makanan oleh Clostridium perfringens hampir selalu melibatkan
peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah dengan cara
makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera disimpan dalam
refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi
untuk membunuh bakteri vegetatif.
Klostridia menghasilkan
sejumlah besar toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin
alfa Clostridium perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat
letalnya sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan
digliserida. Toksin teta mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa
tetapi bukan suatu lesitinase. DNase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang
mencernakan kolagen jaringan subkutan dan otot, dihasilkan juga.
TOKSIN ALFA
Clostridium perfringens
Beberapa strain Clostridium
perfringens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama bila tumbuh dalam
masakan daging. Kerja enterotoksin Clostridium perfringens meliputi
hipersekresi yang
nyata dala jejunum dan ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada
diare. Bila lebih dari 108 sel vegetative termakan dan bersporulasi dalam usus,
terbentuk enterotoksin. Enterotoksin adalah suatu protein yang tampaknya
identik dengan komponen pembungkus spora, berbeda dengan toksin klostridia
lainnya, menyebabkan diare hebat dalam 6-18 jam penyakit ini cenderung sembuh
sendiri. Keracunan makanan karena Clostridium perfringens biasanya
terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalam makanan
daging yang dihangatkan.
Proses patogenesisnya
adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada
daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran usus. Spora
berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah, sel-sel
vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan
dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama
dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim hialuronidase,
mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jarinan bertambah luas, member
kesempaan untuk peningkatan pertumbuhan bakateri, anemia hemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan
kematian.
Clostridium
perfringens secara
normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat bertahan hidup cukup lama di
tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara mendadak yang dimakan
berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan makanan yang kurang sempurna, memperlambat
pergerakan usus, memproduksi
gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan
yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah dan
lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini.
Beberapa strain
Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang membaik tanpa
pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat, yang sering
berakibat fatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh perebusan,sedangkan
yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya merupakan penyebab terjadinya
keracunan makanan karena Clostridium perfringens.
B.
Cara-cara
Penularan
Cara penularan adalah karena menelan makanan yang terkontaminasi
oleh tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara
yang memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi dikaitkan
dengan proses pemasakan makanan dari daging (pemanasan dan pemanasan kembali)
yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging cincang, saus yang dibuat dari
daging sapi, kalkun dan ayam. Spora dapat bertahan hidup pada suhu memasak
normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat proses pendinginan,
atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan atau pada saat pemanasan
yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak berkaitan dengan usaha
katering, restoran, kafetaria dan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai
fasilitas pendingin yang memadai untuk pelayanan berskala besar. Diperlukan
adanya Kontaminasi bakteri yang cukup berat (yaitu lebih dari 105 organisme per
gram makanan) untuk dapat menimbulkan gejala klinis.
Penyebaran penyakit ini sangat luas dan lebih sering terjadi di
negara-negara dimana masyarakatnya mempunyai kebiasaan menyiapkan makanan
dengan cara-cara yang dapat meningkatkan perkembangbiakan clostridia.
C.
Gejala
Keracunan
Keracunan makanan
´perfringens´ merupakan istilah yang digunakan untuk keracunan makanan yang
disebabkan oleh C. perfringens . Penyakit yang lebih serius, tetapi
sangat jarang, juga disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi strain
Type C. Penyakit yang ditimbulkan strain type C ini dikenal sebagai enteritis
necroticans atau penyakit pig-bel .
Keracunan perfringens
secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang mulai terjadi 8-22 jam
setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C. perfringens penghasil
toxin penyebab keracunan makanan. Penyakit ini biasanya sembuh dalam waktu 24
jam, namun pada beberapa individu, gejala ringan dapat berlanjut sampai 1
hingga 2 minggu. Beberapa kasus kematian dilaporkan akibat terjadi dehidrasi
dan komplikasi-komplikasi lain.
Necrotic enteritis (penyakit pig-bel ) yang disebabkan oleh C. perfringens sering
berakibat fatal. Penyakit ini juga disebabkan karena korban menelan banyak
bakteri penyebab penyakit dalam makanan yang terkontaminasi. Kematian karena necrotic
enteritis ( pig-bel syndrome ) disebabkan oleh infeksi dan kematian
sel-sel usus dan septicemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) yang
diakibatkannya. Penyakit ini sangat jarang terjadi.
Dosis infektif – Gejala
muncul akibat menelan sejumlah besar (lebih dari 10 8 ) sel vegetatif. Produksi
racun di dalam saluran pencernaan (atau di dalam tabung reaksi) berhubungan
dengan proses pembentukan spora. Penyakit ini merupakan infeksi pada makanan;
hanya satu sajian memungkinkan terjadinya keracunan (penyakit timbul karena
racun yang terbentuk sebelum makanan dikonsumsi).
Keracunan perfringens
didiagnosis dari gejala-gejalanya dan waktu dimulainya gejala yang agak lama
setelah infeksi. Lamanya waktu antara infeksi dan timbulnya gejala merupakan
ciri khas penyakit ini. Diagnosis dipastikan dengan memeriksa adanya racun
dalam kotoran pasien. Konfirmasi secara bakteriologis juga dapat dilakukan
apabila ditemukan sangat banyak bakteri penyebab penyakit di dalam makanan atau
di dalam kotoran pasien.
D.
Penanganan Penyakit
Pengobatan penyakit ini
dapat dilakukan dengan, penderita diberi cairan dan dianjurkan untuk istirahat.
Pada kasus yang berat, diberikan penicillin. Jika penyakit ini sudah merusak
bagian dari usus halus, mungkin perlu diangkat melalui pembedahan.
Pencegahan secara total mungkin tidak dapat dilakukan,
namun makanan yang dimasak, dipanaskan dan disimpan dengan benar umumnya aman
dikonsumsi. Resiko paling besar adalah kontaminasi silang, yakni apabila
makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan
(misalnya alas pemotong) yang terkontaminasi.
Hal-hal yang dapat
dilakukan untuk melakukan tindakan pencegahan penyebaran bakteri Clostridium
perfringens adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
a)
Pendidikan
tentang dasar-dasar kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam sanitasi
makanan
b)
Jangan
biarkan makanan berada pada suhu kamar yang memungkinka mikroorganisme yang
mengkontaminasi berkembang biak.
c)
Lakukan
pemasakan dengan sempurna sebelum dihidangkan agar dapat tercegah dari infeksi
dan keracunan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Clostridium perfringens
adalah spesies bakteri gram-positif
yang dapat membentuk spora dan menyebabkan penyakit Gastroenteritis yaitu keracunan makanan
yang tercemar oleh toksin (racun) yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium
perfringens.
2.
Penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Clostridium
perfringens dapat
menular melalui makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja dimana makanan
tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman
berkembangbiak. Selain itu, cara masak yang kurang sempurna juga bisa menjadi
faktor penularan penyakit.
3.
Gejala keracunan
perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang mulai
terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C.
perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan.
4.
Penanganan penyakit
dapat dilakukan dengan memperhatikan cara memasak makanan. Makanan yang
dimasak, dipanaskan dan disimpan dengan benar akan aman dikonsumsi. Pengobatan
dapat dilakukan dengan memberi
cairan dan istirahat. Pada kasus yang berat, diberikan penicillin. Jika
penyakit ini sudah merusak bagian dari usus halus, mungkin perlu dilakukan
pembedahan.
B.
Saran
Adapun saran yang dapat
diajukan yaitu perlunya
dilakukan kajian pustaka yang lebih mendalam lagi tentang Peracunan Makanan
oleh Clostridium perfringensi sehingga dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
“Clostridium perfringens” Ensiklopedia bebas bahasa indonesia. Wikipedia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Clostridium-perfringens.
(26 Januari 2011).
“Clostridium perfringens” http://www.food-info.net.id/bact/intro.htm
(26 Januari 2011).
Entjang,
Indan. Mikrobiologi dan Parasitologi.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Irianto,
Koes. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 1. Bandung : Yrama
Widya, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar